Rahasia Ilmu Sejati dan Asmaragama 

Gatholoco adalah lambang Lelaki Sejati, ia yang mampu memahami proses penciptaan manusia melalui lingga dan yoni, yang menjadi penyebab turunnya ruh ke bumi. Lelaki Sejati adalah ia yang sanggup mengendalikan segala anasir di dalam dirinya. Buku ini menceritakan kembara Gatholoco menaklukkan lima wanita yang merepresentasikan unsur-unsur halus di dalam diri manusia: Rêtna Dewi Lupitwati (yoni/kundalini), Mlênuk Gêmbuk (memori), Dudul Mêndut (kesadaran), Rara Bawuk (emosi), dan Dewi Bleweh (pikiran). Seolah berbicara kepada diri sendiri, Gatholoco kemudian membabar rahasia ilmu sejati dan ketuhanan dengan bahasa yang memukau dan sarat makna. 

Berangkat dari kisah Gatholoco yang legendaris, Damar Shashangka berikhtiar untuk menyuguhkan kembali Filsafat Lingga Yoni, ajaran kuno yang nyaris sirna dari bumi Pertiwi. Dengan jernih ia mengulasnya melalui bahasa tiga tradisi spiritual yang berkembang di Nusantara: Tasawuf Islam, Siwa Buddha, dan Kejawen. Buku “GATHOLOCO” : Rahasia Ilmu Sejati dan Asmaragama” (Terbit 8 Maret 2013).

Kata Pengantar

Meski terus-menerus dipinggirkan dan dicap dengan berbagai stigma yang tidak mengenakkan sepanjang 500 tahun, semangat pencarian spiritual para pribumi Jawa di sana-sini terus menggeliat dalam ritme yang dinamis. Paham kaum puritan yang ortodoks dan kaku bagaikan menyodorkan baju besi kepada masyarakat. Jangankan untuk bergerak bebas, untuk bernapas pun susah.

Semenjak awal, masyarakat Jawa bebas berekspresi dalam ranah spiritual. Ekspresi kebebasan ini bisa ditemukan dan dilakukan dalam dua tradisi spiritual yang berasal dari India: ajaran Weda dan Buddhisme. Keduanya hadir ke Nusantara dengan menyodorkan wadah yang longgar. Kebebasan ini berpuncak pada pola sinkretis yang dikenal sebagai ajaran Siwa Buddha, atau cukup disebut agama Buda saja. Menyadari inti spiritual adalah titik berat yang memang menjadi acuan utama dua tradisi spiritual dari India tersebut. Sehingga, penghayatan orang Jawa terhadap dua ajaran itu menjadi tampak berbeda dan tak lagi terkesan India-sentris. Penghayatan yang bebas semacam itu selama berabad-abad dipandang absah dan tidak dipermasalahkan.

Ketika arus perdagangan global meningkat pada kisaran abad ke-15 dan Nusantara terseret ke dalamnya, masuk pula pemahaman lain yang mengusung semangat spiritual yang cenderung melakukan penyeragaman. Terjadilah perubahan besar-besaran. Masyarakat Jawa Kuno menyadari bahwa tak ada sosok laten yang perlu dimusuhi ketika bergelut dalam dunia spiritual selain unsur-unsur negatif dalam diri sendiri. Tetapi kemudian kesadaran tersebut berubah secara ekstrem. Muncullah sosok iblis yang harus selalu dicurigai. Sosok yang seakan-akan berada di luar diri manusia. Pola ekspresi spiritual yang bebas lalu terbentur dinding yang sangat tebal lagi kokoh. Masyarakat Jawa, perlahan namun pasti, mulai mengalami gejala paranoid terhadap kehadiran sosok iblis yang berada di luar diri manusia. Kecurigaan dan ketakutan itu lahir dari sistem dan metode spiritual yang kaku, absurd, dan cenderung melakukan penghakiman terhadap liyan (the others). Palu kebencian pun terayun pada kebebasan spiritual yang sudah lama mengakar di bumi Jawa.

Di sisi lain, suara-suara dari golongan yang mencoba untuk berpandangan lebih luas dan terbuka tenggelam begitu saja karena besarnya arus penghakiman yang terus-menerus terjadi. Situasi yang menegangkan tak bisa dihindari. Mereka yang bersimpati pun tersisih. Dan sosok Gatholoco yang imajiner adalah prototipe mereka yang bersimpati dan tersisih ini; sosok yang sengaja dihadirkan penulisnya yang misterius. Mungkin saja penulis Sêrat Gatholoco tidak tersisih secara sosial. Mungkin saja ia seorang yang memiliki kedudukan dan dihormati di masyarakatnya. Namun begitu, penghayatan spiritualnya tersisih.

Menilik dari bahasa yang digunakan penulis Sêrat Gatholoco, karya sastra kontroversial ini lahir di pengujung abad ke-19, ketika Sastra Jawa Baru begitu marak serta mencapai bentuknya yang cukup stabil. Jika kita membicarakan Sastra Jawa Baru, mau tidak mau kita harus berpaling kepada sosok Raden Ngabehi Ranggawarsita (15 Maret 1802 – 24 Desember 1873) sebagai seorang pujangga besar Sastra Jawa Baru. Tak berlebihan pula jika ada kecurigaan bahwa sêrat tersebut ditulis olehnya.

Tak pelak, kehadiran Sêrat Gatholoco sangat mengguncang tatanan mainstream yang mencengkam kuat masyarakat Jawa kala itu. Selain penuh kritik pedas, sarkasme, dan pemikiran yang berani, dasar-dasar filsafat Lingga Yoni, yang nyaris sirna di ranah publik Jawa, dimunculkan kembali olehnya. Nama tokoh utama yang ditampilkan dalam sêrat ini, yaitu Gatholoco, sudah cukup kuat untuk mengindikasikan adanya muatan filsafat Siwais dan Tantris. Gatho secara literal berarti alat kelamin dan loco berarti kocokan. Gatholoco bisa diterjemahkan secara literal sebagai “alat kelamin yang dikocok”. Sebuah nama yang tabu dan jorok dalam alam pemikiran Jawa Baru kala itu. Nama yang terkesan mengandung semangat pemberontakan kepada kemapanan. Nama yang “najis” dan bisa dicap “kufur” oleh kaum puritan.

Sêrat ini juga penuh ungkapan sufistik yang mendalam. Sang penulis rupanya memberikan sentakan kesadaran dari dua sisi sekaligus, sisi yang sarkastik dari filsafat Lingga Yoni dan sisi yang relatif lebih bisa diterima kalangan sufi. Pemahaman sufistik sang penulis tampak jelas di sana-sini. Ungkapan-ungkapan khas seperti Roh Ilapi (Ruh Idlafi), Nur Mukamad (Nur Muhammad), Johar Awal (Jauhar Awwal), Makripat (Makrifat), Tokid (Tauhid), Mukamad Majaji (Muhammad Majazi) dan Mukamad Kakiki (Muhammad Hakiki), dll., seperti taburan bunga-bunga nan indah di dalamnya.

Sêrat Gatholoco merupakan refleksi kemuakan dari mereka yang terus-menerus melihat kekakuan dalam kehidupan beragama; refleksi kemuakan dari mereka yang melihat betapa kebebasan manusia untuk berekspresi tertindas oleh dogma yang kaku, yang menciptakan sosok Tuhan yang haus darah dan intoleran, yang melahirkan sikap-sikap eksklusif dan tak ramah. Sêrat Gatholoco hadir untuk menyentak kesadaran kita bahwa ruh agama adalah spiritualitas. Dan spiritualitas itu bersifat dinamis, penuh toleransi, dan semestinya mengembangkan Kasih (Rahmah) di dalam diri manusia.

Berikut cuplikan Buku Sêrat Gatholoco :

Simbolisasi Bêdudan dan Candu

Seluruh santri menutup hidung / bahkan ada yang pindah tempat duduk (menjauh) / (Kyai) Kasan Bêsari (Hasan Bashori) bertanya / Siapa namamu? / Menjawab yang ditanya Gatholoco namaku / (Kyai) Kasan Bêsari (Hasan Bashori) kembali bertanya / Apa yang kamu selipkan dipinggang (itu)?

Menjawab (Gatholoco) Ini batang / batang kesadaran yang jernih / sedangkan bulatannya / namanya CUPAK / yang berguna untuk MAPAK (MEMOTONG) kesadaran yang salah (rendah) / Ramuannya terdiri dari candu dan / daun awar-awar muda (daun awar-awar sangat gatal).

imagespr3

Kesadaran yang jernih menurut penulis Sêrat Gatholoco dilambangkan sebagai batang bambu untuk menghidap candu atau Bêdudan. Sedangkan bagian Bêdudan yang berbentuk seperti mangkok kecil sebagai tempat menaruh candu sekaligus membakarnya atau Cupak, adalah lambang dari Kesungguhan diri untuk menempuh jalan spiritualitas. Opium atau Candu yang berefek menghilangkan rasa sakit, memunculkan rasa damai yang ektrim, kebahagiaan, rasa percaya diri, euphoria dan Daun Awar-Awar Muda yang sangat gatal dan jarang orang tawar, adalah lambang dari Spiritualitas itu sendiri.

Jarang orang yang mampu dan tawar mengkonsumsi Spiritualitas. Karena efek dari Spiritualitas adalah peningkatan Kesadaran. Manusia yang telah meningkat Kesadarannya, yang Jernih Kesadarannya, biasanya akan mengalami penolakan oleh mayoritas. Apa yang terlihat Terang bagi mayoritas, akan tampak Gelap bagi mereka yang meningkat Kesadarannya. Dan apa yang terlihat Gelap bagi mayoritas, akan terlihat Terang bagi mereka yang telah meningkat Kesadarannya. Menempuh jalan Spiritualitas, bagaikan memasuki kehidupan yang penuh kutuk dan penolakan.

Mereka yang telah jernih Kesadarannya, ibarat batang bambu sebagai penyalur asap bakaran candu. Semakin jernih tingkat Kesadarannya maka Damar Murub akan tampak. Yang dimaksud dengan Damar Murub adalah Cahaya Kebenaran Sejati. Lesane Pucuking Ilat, Lesan berarti mulut, dan mulut adalah media untuk Bersuara. Pucuking Ilat berarti Ujung Lidah. Lidah adalah media untuk Merasakan. Ujung Lidah berarti Ujung Rasa. Apakah Suara Dari Ujung Rasa tersebut? Tak lain adalah Suara Sejati. Tak lain adalah Suara Ruh. Suara Ruh inilah sebagai panduan untuk ‘mencari’ Sang Sumber Abadi. Tak ada panduan lain diluar itu yang patut didengarkan.

Buku Gatholoco ini untuk 21 tahun ke atas:

Sebagai suplemen, sengaja di sisipkan pengetahuan olah asmara Jawa Kuno, yang di ambil dari Sêrat Kawruh Sanggama karya Raden Bratakesawa, Sêrat Nitimani, Sêrat Panitisastra, Sêrat Widyakirana, Sêrat Jitabsara, dan Sêrat Primbon. Suplemen ini terdiri dari delapan bab yang membahas secara rinci asal-usul Aji Asmaragama; peranti sanggama lelaki dan wanita; ciri-ciri wanita yang pandai bersanggama dan titik rangsang wanita; tata cara bersanggama sesuai Aji Asmaragama yang berguna untuk meraih kepuasan badan, suksma, dan atma; beberapa aji yang berguna untuk memikat dan memberikan kepuasan kepada wanita; beberapa sarana dan ramuan untuk memperkuat olah sanggama; dan ciri-ciri benih calon anak yang hendak menitis sebagai hasil olah sanggama.

Bernapas layaknya api. Memasukkan bara lewat tulang ekor, menghembus lewat penis atau vagina. Memasukkan nyala lewat penis atau vagina, menghambur lewat bawah pusar. Mendulang agni lewat bawah pusar, keluar lewat ulu hati. Meneguk panas lewat ulu hati, mengalir deras lewat leher. Menyerap kobaran lewat leher, menggebubu bak angin lewat mata ketiga. Menyerap Brahma lewat mata ketiga, memancarkan Syiwa lewat Sahasrara.

Surya sebagai kawah Chandradimukha. Tubuh sebagai bahan bakarnya. Tertapis sudah ketujuh cakra karenanya. Semoga termurnikan adanya.

Hong Awighnamastu namas sidham.

Panasnya sebuah persanggamaan, di Sêrat Nitimani dituangkan dalam kalimat puitis seperti di bawah ini:

i-love-uKalamun pastha purusha, wus kiyêng kiyêt santosa, kwehning saya wus samêkta, iku nulya katindakna, umangsah ing rananggana, sayêkti datan kuciwa, katêmpuh ing bandayuda. Nanging ta dipun prayitna, ing tindak aywa sêmbrana, nggone bakal nuju prasa, mring wanita mêngsahira. Supaya lêganing driya, wruh antawisipun waspada, jroning pasti kono ana, musthikaning rasa mulya, rinêksa para jawata, karan Sang Hyang Watapatra, utawa Sang Hyang Gambira, dumunung wuri Purana, yen tinêmpuh dening gada, watak kêri prasanira. Nuli babantune prapta, pipingitan ing jro bhaga, ingaran Sang Hyang Asmara, asisilih Sang Hyang Cakra, kang abipraya sarosa, wimbuh kêri nggrimingira, anarik daya ayunya, mring Sang Hyang Purnama sangka utama Sang Kamajaya. Pameting rahsa mangkana, srana ngagêm mawi sraya, pratingkah ukêling Pastha. Kacarita solahira, duk marwani lumaksana, karya pupucuking yuda, kwehning daya saniskara, aywa sinêrusa rosa, ing tindak kêdah saronta, pangangkah amung muriha, kêri prasaning wanita. Kalamun wus sawatara, campuh ing prang lama-lama, papalu tumêmpuhira, pinindha upama gada, tinangkis ing bondabaya. Saking rosaning panggada, kuwating panangkisira, wêkasan mêtu dahana, mubal sumundhul ngakasa, susumuke ngêmu pega, kukus katut samirana, prapta tumanduking prasa, kêkêrining mêngsahira, gumriming saya andadra.

“Manakala pastha purusha, sudah memanjang teguh sentosa, dan segala kekuatan sudah sedia, maka bergeraklah, maju menuju rananggana (medan tempur), tak akan menemui kekecewaan, jika terjun dalam bandayuda (peperangan). Namun tetaplah waspada, jangan ceroboh dalam tingkah, ketika hendak mengarah rasa, dari wanita musuhmu. Agar terpuaskan dalam jiwa, maka ketahuilah dan waspadalah, bahwa telah ada dengan pasti, sebuah mustika rasa yang mulia, yang dijaga para dewata, yang disebut Sang Hyang Watapatra, atau Sang Hyang Gambira, yang terletak di belakang purana, jika dihantam dengan gada, akan terasa geli. Jika sudah terkena gada maka bala bantuan akan datang, yang datang dari tempat tersembunyi di dalam bhaga, berjuluk Sang Hyang Asmara, berganti wujud menjadi Sang Hyang Cakra, kuat dan tangguh, maka bertambah-tambahlah geli menggeletar, menarik daya kecantikan, dari Sang Hyang Purnama perwujudan utama Sang Kamajaya. Untuk mendapatkan rasa yang sedemikian, dengan sarana, tingkah cekatan sang Pastha. Dikisahkan tingkahnya, ketika memulai berjalan, sebagai pucuk pimpinan prajurit, haruslah segala kekuatan bergerak secara perlahan, jangan terlalu kuat, bergeraklah dengan sabar, cukup agar menciptakan geletar, gelinjang rasa wanita. Manakala sudah beberapa waktu, lama-kelamaan di dalam peperangan, hantamkan palu, yang bagaikan gada, namun ternyata dapat ditangkis dengan bandabaya (tameng). Begitu kuatnya ayunan gada, juga kuatnya tangkisan, memunculkan api, yang bergulung menggapai angkasa, hawa panasnya menciptakan mega, asapnya terhempas angin, datang mengarah tepat pada rasa, dan gelinjang musuhmu, menggeletar semakin menjadi-jadi.”

527661_10151096319334794_223403049_n

“Pujilah aku!” katamu.
“Aku tak bisa memujimu sebagaimana seharusnya,” kataku.

“Rayulah aku!” katamu.
“Rayuanku tak mampu mengurai jelitamu,” kataku.

Dan bahkan ketika kelamin kita beradu
rinduku kepadamu masih saja menyiksaku.

Bibirmu rekah mawar, matamu rembulan bersinar, rambutmu gerai gelombang, payudaramu pepaya kembar semingguan. Apa lagi? Oh ya, vaginamu teratai mekar. Akan kuhirup aroma dalammu di rekah bibirmu, kuhangatkan dinginku di sinar matamu, kuayunkan tubuhku di gerai rambutmu, kutelungkupkan mulut bayiku di kuncup-kuncup payudaramu, dan kutakhtakan diriku di kelopak terataimu.

Aduh! Tanganmu mempunyai kata-kata untukku yang tak bisa diucapkan oleh bibirmu kepadaku. Ia adalah duta bagi seluruh anggota tubuh lain selain bibirmu yang mengantarkan wajahku kepada seluruh bagian tubuhmu untuk mengetahui kata-kata yang tidak bisa diucapkan oleh bibirmu kepadaku.

299329_10151093368599794_72745282_n

Megananda. Apalagi yang mampu kau saput kecuali langit yang membiru itu. Dalam remang kau senggamai jengkal yoninya dengan linggamu. Kau ciumi leher jenjangnya. Kau permainkan puting payudaranya.

Megananda. Tak terhitung langit melenguhkan guntur dan mengerjapkan kilat. Menyangkakan waktu telah sirna dalam rengkuhmu. Mengirakan kecerahan hilang selamanya dalam geliat senggamamu. Langit lupa bahwa kau bisa menyudahi hasratmu ketika kenikmatan puncak telah kau cercapi. Saat kamamu menetes-netes turun dalam hujan badai.

Ya, langit lupa bahwa ketika kau telah terpuaskan menyetubuhinya, maka pelahan, kelam akan memudar. Dan sekejap kemudian, langit akan tampil kembali dengan kencantikannya .

Dunia tak selamanya kelam, nimas. Ada waktu dunia meremang dan ada waktu dunia memunculkan keceriaannya. Inilah rwabhineda.

love-u

Hong Awighnamastu namo siddham,
Hong Natha ya namostute, stuti ning atpada ri pada Bhatara Nityasa,
Sang Suksma têlêng ing samadhi, Syiwabuddha sira sakalaniskala atmaka,
Sang Sriparwwatanatha, natha ning anatha sira ta pati ning jagadpati,
Sang Hyang ning Hyang, inistya cintya ning acintya, hana waya têmah nireng jagat.

“Oh Tuhan semoga tiada halangan dan penuh kesempurnaan,
Oh Tuhan, Sang Raja Yang Terpuji dan Terhormat, nyanyian pujaan dari hamba yang rendah ini terhatur kehadapan kaki Bathara Yang Maha Abadi,
Engkau adalah Sang Gaib pusat Samadhi, Engkau adalah Syiwabuddha [Yang Bijak Penuh Kesadaran] penjelmaan dari Yang Nyata dan Yang Tak Nyata,
Engkau Sinar Sang Raja Gunung, Raja diatas Raja, Penguasa diatas segala Penguasa Semesta,
Sang Hyang dari Hyang, merupakan yang Terpikirkan dan Tak Terpikirkan, mengada disini menjelma sebagai semesta ini.”

*manganjali dengan tunduk diri. Posisi Nagabhanda dalam Asmaragama Jawa (akan diulas dalam buku “Gatholoco: Rahasia Ilmu Sejati dan Seksualitas Jawa).

385707_415216608539915_50887579_n

Tiada rahasia yang mesti kutirai karena kehadiran ini sudahlah misteri: kenapa kita di sini? Bertanyalah padaku hingga tiada tersisa pertanyaan yang mungkin dikatakan. Dan bila itu terjadi, tataplah mataku dalam-dalam hingga kau menyadari semua jawaban menyatu dalam pertanyaan ketika matamu yang menatap adalah mataku yang kau tatap, kau dan aku lenyap, yang menanti dan yang dinanti lesap. 

Betapa gerakan dan suara tunggal itu terjadi dalam kehampaan, cahaya dan tarian lahir dari kesunyian, dan perkawinan terhelat di panggung kematian.

Burung-burung camar, riak ombak, butir-butir pasir yang menempel di dada merasakan desir darah dan degup jantung berdua. Ikan-ikan, ganggang, lokan bersorak kegirangan menyaksikan setiap gerak percumbuan. Mawar, tulip, seroja begitu tak sabarnya ingin segera merekah karena berhasrat memberikan senyum terindah pada pertunggalan mesra.

Serasa sebuah pusaran tanpa inti menghisap dan melontarkan semua zarah keberadaan. Penciptaan dan penghancuran terjadi secara bersamaan. Sabda pertama Om dan kiamat, kejatuhan dan kenaikan, terjadi lebih cepat daripada kilat pikiran yang mampu terbang ke sebutir bintang di galaksi terjauh semesta alam.

Kita tak lagi bisa mengatakan jemari siapakah yang membelai rambut ini? Jemariku? Bukan. Jemarimu? Bukan. Jemari kita? Juga bukan. Kata-kata dan iblis tersipu malu, terduduk di sudut, lalu berlari menuju prasejarah, atau lebih jauh lagi, untuk menyucikan diri ke sebuah tera tanpa nama sebelum kembali menghampiri dan memberkati lidah dengan secuil desah: “Ah!”

Jiwa-jiwa yang berkelana di antara langit dan bumi sontak bersorak dan menghiba, “Beri aku raga, beri aku raga sekali lagi, o Tuhan!” Malaikat-malaikat surga menaburkan kembang tujuh rupa ke atas bumi dan bersujud penuh takzimnya seraya berkata, “Mahasuci Tuhan yang telah menyempurnakan penciptaan.”

Bahkan Tuhan ingin melompat dari liang Ketiadaan dan hendak berkata “Aduhai!” Tetapi Ia segera sadar dan menutup mulut-Nya sendiri karena Ia tak layak berkata-kata dalam sanggama.

***

gathocolo

Judul | GATHOLOCO : Rahasia Ilmu sejati dan Asmaragama
Penulis | Damar Shashangka
Tebal | 400 halaman
Harga | Rp 69.800,-
ISBN | 978-979-17998-9-n

Mengingat begitu kontroversialnya ditengah masyarakat kita. telah diperoleh kepastian bahwa kitab fenomenal “GATHOLOCO : Rahasia Ilmu sejati dan Asmaragama tidak akan bisa kita nikmati kehadirannya menyusul penolakan dua toko buku terbesar Indonesia karena dianggap berpotensi menimbulkan krontroversi. Namun mengingat berharganya nilai filosofi Jawa Kuno yang ingin disampaikan melalui buku ini, serta tingginya animo pembaca buku-buku karya Damar Shashangka yang telah menanti sejak lama kehadiran buku ini, Penerbit Dolphin memutuskan tetap menerbitkan sesuai rencana semula awal MARET 2013.

Sudah seratus lebih yang melakukan preorder dengan pesanan bervariasi. Buku ini hanya dicetak sebanyak 3000 eksemplar saja dan tidak akan dicetak lagi mengingat masih rendahnya kesadaran masyarakat kita dan buku ini juga tidak akan masuk ke Toko-Toko Buku.

Dengan demikian, GATHOLOCO tidak dapat ditemui di TOKO BUKU manapun, hanya dapat diperoleh melalui pemesanan secara ONLINE melalui akun Penerbit Dolphin, website www.penerbitdolphin.com, email penerbitdolphin@yahoo.com atau follow twitter kami @penerbitdolphin atau akun pribadi ‘Damar Shashangka’ di facebook atau sms ke : 0818102767

Bagi yang ingin order, silakan kirim pemesanan dan pembayaran melalui transfer ke rekening:

BCA KCP Gondanglegi,Malang
No.Rek : 31-70-41-76-90
a/n : Anton Maharani.
Nomor telepon: 0818-102-767

_________________________________________________________________

Semoga buku ini bisa memberikan manfaat kepada para pembaca. Semoga pula buku ini bisa menjadi salah satu tonggak bagi kita semua untuk melestarikan budaya adiluhung peninggalan nenek moyang Nusantara.

Hayu, hayu, hayu, samya rahayu kang sarwa pinanggih.

Bumi Singasari, Januari 2013

Damar Shashangka

***