Saya beruntung bekerja di sebuah perusahaan yang menempatkan Sumber Daya Manusia, sebagai asset, sebagai pusat usaha (centre of business), bahkan sebagai inti dari usaha (core of business). Bahkan salah satu tata-nilai (value) yang dicanangkan dalam corporate statement adalah “respect people”.
Kebanyakan orang menerjemahkan value tadi dengan “menghormati manusia”. Tak sederhana itu, ketika saya diminta menjabarkan arti “respect people”, untuk ditularkan kepada audiences di sebuah kelas pelatihan. Ternyata, “respect people” adalah istilah yang mengandung makna substantif dan filosofis yang sangat dalam dan luas.
Mungkin karena keterbatasan kosa kata, “respect people” harus dipadankan dengan 4 istilah yang harus dipahami bersama. Yang pertama adalah “menghormati orang lain”. Istilah ini lebih condong berkonotasi fisik, ketimbang substantif. Bertemu kenalan di lobi gedung perkantoran dan mengucapkan “selamat pagi”, dinamakan “menghormati teman”. Tak peduli, apakah disertai umpatan dalam hati karena hutangnya belum dibayar, atau makian karena ingat kecaman di rapat mingguan kemaren yang masih membekas di dalam sana. Tulus atau tidak, ikhlas atau tidak, mengumpat atau tidak, “selamat pagi” menandakan hormat kepada orang lain. Setidaknya, yang terlihat kasat mata. Belum cukup bukan?
Kedua, “respect people” juga mengandung arti “menghargai orang lain”. Orang Jawa mempunyai ungkapan jitu untuk menjelaskan frasa ini. “Nguwongke uwong” (memanusiakan manusia). Mengapa banyak pesan agar manusia harus dimanusiakan? Bukankah bagaimana pun, seseorang adalah manusia? Benar, tetapi banyak kisah bagaimana perlakuan (banyak) orang kepada orang(-orang) lain yang tidak manusiawi. Ratusan perempuan (banyak manusia) di Medan, berpredikat (calon) PRT disiksa, bahkan dibunuh oleh manusia lain yang berlindung dibalik “perusahaan jasa penyaluran PRT”. Atau pengabaian nyawa manusia di jalan raya oleh pengendara ugal-ugalan yang melanggar sopan-santun lalu-lintas. Banyak cerita mengapa “nguwongke uwong” masih menjadi pesan yang harus digaungkan untuk menegakkan “respect people”.
Ketiga, “respect people” mengandung arti “peduli orang lain”. Tapi, siapa saja yang harus dipedulikan? Bila dihitung sejak lahir, banyak sekali orang yang sudah peduli dengan kita, dan masih akan banyak lagi. “Peduli atau mati”, adalah jargon yang pas meski sedikit agak lebay didengarnya. “Peduli” seperti vitamin yang membuat hidup menjadi “hidup”, antusias dan bahagia. “Urip iku urup”. Hidup tidak hanya harus “menyala”, tetapi juga semangat dan bermanfaat bagi sesama. “Urup” itu menyinari, menghangatkan, membuat orang lain bergelora.
Keempat, “respect people” juga berarti “empati kepada orang lain”. Duduklah di kursi yang sedang diduduki orang. Atau, cobalah mengenakan sepatunya di kakimu. Akan dirasakan bahwa sesama bagaikan cermin yang ada di depanmu. Kalau tersenyum, bayangan di dalam sana ikut tersenyum. Kalau cemberut, dengan kepalan tangan ke arah sana, gambar yang sama terlihat di cermin. Dengan empati kita belajar toleransi. Dengan empati kita rendah hati. Dengan empati kita tahu diri. Itulah “respect people”.
Pertanyaan sederhana mudah timbul. Biasanya men-challenge orang, apa yang terjadi bila values itu tak muncul? Mengapa bersusah payah, bila tanpa itu sudah kaya, sudah pintar, sudah kuat, sudah tenar, dan sudah dihormati orang? Pertanyaan oratoris yang tak perlu dijawab. Ia dijawab oleh pertanyaan itu sendiri. Respect kepada liyan akan memantulkan sikap serupa dari mereka. “Ngajeni liyan, nggawe diajeni (respect kepada orang lain, membuat orang lain respect kepada kita), respect people melahirkan respect yang sama dari sana, melancarkan jalan, memudahkan proses, dan menyederhana urusan”. Aneh bukan?, Itu fakta yang sulit dibantah.
Sering mengandung misteri, respect memang susah. Hormat lebih mudah. Respect sulit karena harus “memberi”, bukan langsung menerima. Padahal respect membuahkan kebahagiaan yang sulit didapat dengan cara lain. Hormat berjangka pendek, respect lebih langgeng. Hormat kepada orang yang menentukan nasib kita sangat mudah. Respect kepada orang kebanyakan jauh lebih sulit. Menyapa petugas satpam atau OB menjadi gamang karena sama sekali tak mengubah “nasib” kita, sementara respect kepada atasan, sering membuahkan “keuntungan” seketika.
Respect adalah mengakui keberadaan, menghormati eksistensi dan mengakui peran orang lain. Tiga hal yang membuat manusia berbesar hati dan memantulkannya seperti bayangan cermin yang persis sama. Menegur orang ternama adalah biasa, menyapa mereka yang tak dikenal adalah luarbiasa. Merangkul sahabat dilakukan oleh banyak orang, peduli kepada orang biasa adalah istimewa. Menyayangi keluarga, menguntungkan kawan, dan menyenangkan kelompok mudah dilakukan. Empati dan peduli orang lain, menjadi bekal utama untuk berbahagia.
Ditulis oleh : Bpk PM. Susbandono
***
latif caso said:
Memanusiakn manusia,Sederhana,tp sebenarnya level tertinggi dlm ajaran kesejatian,sprti yg di ungkapkn mpu prapanca dlm kitab nirartha prakreta.
sabdadewi said:
Sugeng dalu @ Mas Latif Caso, maturnuwun infonipun 🙂 …
Ugi kagem @ Bpk PM Susbandono, maturnuwun sanget sampun kerso paring panggraito lan pitutur ingkang waskitha 🙂 …
Salam rahayu lan samya pinanggih.
senyum said:
kulonuwun
Sae saestu rubrik pitutur pak Susbandono, namun semua teori ajaran yg sangat baik itu akan menjadi sia-sia saja, bila kata orang masuk kuping kiri keluar kuping kanan atau tidak dijalankan dalam kehidupan keseharian. Semua memang berpulang pada diri sendiri.
JDD said:
Thank you so much @ Mr. PM Susbandono,
it is very nice artikel indeed.
by the way, what is the ‘PM’ mean on your name?
was it ‘Prime Minister’?
it such as honoured to see you here.
_/\_ nameste.
SUARA said:
Second opinion
RESPECT PEOPLE
ngapunten derek rerembagan.
Serat sedaya meniko kagem mrigelaken nyumringahaken kahanan ing Pendopo
Setiap kata ada original deskription
Biologi …. Bio, logi …. Ilmu tentang kehidupan
Fisika …… Fisic mekanika ……. Ilmu tentang mekanika fisik
RESPECT people
:
re , spectrum , people
Re, mengulang , mengembalikan ke sifat dasar manusia.
Spectrum people , Cahyaning ati, eloknya pelangining manungsa,
ilmi laku : cahyaning manah, gusti, bagusing ati.
Membangkitkan kembali perilaku berdasar bagusing ati
Banyak contoh contohnya
Pelangi iku werna wujud butir toya kang kena cahaya
Pelangi bagusing ati,
Saged saking wujud lakuning manungswa kang nyedaki sifat toya, air
Toya, air, water
: sejuk, segar, ngurip nguripi, lampahing mandap
Manusia kang sae sagedto mensejuk segarkan suasana, bisa mensejuk segarkan teman yg lain, bisa mensegar menghidup semangat kinerja perusahan atau dimana dia berada , bekerja, aktivitas menapa kemawon.
Manusia yg produktif aktif positif,
Menhidupkan menyegarkan suasana kerja
Final resultnya bisa menyegarkan memajukan perusahaan , institusi , dimanapun apapun aktivitas dimanapun manusia itu berada.
Kerendahan hati manusia merujuk sifat gerakan natural fluida air.
Manungswa saged ngemong, ngamong, solah bawa rasa pribadi maupun among ngemong kahanan.
Solah bawa rasa, body language, perilakunya tetap teguh berpegang tatakrama, teposeliro, ngormati sakpada padane ora ningali pangkat derajate dewe lan sapa sing diajak sesrawungan.
Spectrum bagusing ati iku, uga dadekna wujud pelangining kharakter mangswane.
Ingkang berspektrum people, saged ngormati, narimo pelangi kharakter perilaku manusia lain.
Manusia yg arif, wicaksana, saged teges maneges, saged solah bawa alus lan teges mengikuti suasana lan kabutuhan kahanan.
Menika njih spektrum manusia asifat toya.
Toya ing kendi awujud kendi, ing botol awujud botol.
Respectrum manusia
Awujud manungsa kang prigel, sumringah, produktif, adaptif high level, sopan santun saged ngurip nguripi menyegarkan team dan apapun kahanan dia berada.
Ngapunten sekelumit second opinion kagem tambahing werna rupa segering kahanan diskusi ing Pendapa kang agung menika.
Uluk karaharjan kagem pinisepuh sedaya.
PM. Susbandono said:
Tiba-tiba istilah itu terkenal lagi. Disebut banyak orang, ditulis banyak media, disiarkan berbagai stasiun TV, dikopas banyak media on line dan menjadi subyek penting di kantor polisi. Padahal, sudah puluhan tahun saya tak pernah mendengarnya lagi. Istilah Bahasa Jawa yang kadung berganti baju dengan warna yang lebih halus, seperti perampok, atau penodong. Saya pikir, istilah “begal” sudah akan mati. Ternyata ia lahir kembali.
Sampai saya remaja, “begal” masih ada dan pemahaman artinya masih sama. Profesi penjahat yang paling top. Tidak ada orang lebih kejam dibanding begal. Biasanya, begal, bisa sendirian atau beramai-ramai, berdiri di pinggir jalan yang sepi, dekat hutan atau ladang, bersembunyi di semak-semak belukar yang gelap dan jauh dari penduduk. Meski sadis, begal penakut. “Takut” konangan orang lain.
Bermula dari ngumpet di balik pohon dan baru keluar kalau ada orang “sial” yang kebetulan lewat di jalan itu. Itu pun dihitung-hitung dulu, siapa dia. Kalau yang lewat lebih banyak atau lebih “kuat”, sang begal urung mencegat korbannya. Lebih baik tetap bersembunyi untuk menunggu korban berikutnya. Siapa tahu lebih pas untuk dibegal. Sekali lagi, meski kejam, begal tidak nekad, tidak sembarangan. Punya kalkulasi dan strategi. Punya hitung-hitungan yang matang sebelum bertindak. Tapi itu begal zaman dulu. Begal sekarang berbeda.
Cerita yang pas tentang apa itu begal, dapat dikutip dari Kitab Perjanjian Baru. Kisah kekejaman begal, yang sebetulnya dramatis dan menegangkan, menjadi pesan yang sama sekali berbeda. Dia justru berusaha menunjukkan, siapakah “sesama” itu. Siapakah “mereka yang harus kita kasihi”. Siapakah “saudaraku” itu.
Seorang laki-laki Yahudi, berjalan sendirian dari kota Yerusalem ke Yerikho. Di tengah jalan yang sepi, dia diserang begal. Badannya disiksa, hartanya dirampas. Laki-laki itu terkapar di pinggir jalan dalam keadaan yang mengenaskan.
Kebetulan, seorang Imam, pemimpin agama Yahudi, lewat di jalan itu. Tapi dia lewat begitu saja. Sang Imam cu’ek. Bahkan menoleh pun tidak. Yang kedua, lewat orang Yahudi yang tergolong ningrat. Dia dari suku Lewi, suku bangsa Yahudi yang dihormati. Tapi sang Lewi juga lewat begitu saja. Alih-alih menolong. Dia menyingkir ke seberang jalan, agar jauh dari korban. Cu’ek bebek.
Yang ketiga, lewatlah orang Samaria. Orang Samaria adalah golongan masyarakat yang disingkirkan oleh budaya Yahudi, kala itu. Orang Yahudi najis bicara, apalagi, bergaul dengan orang Samaria. Orang Yahudi tak boleh menikah dengan orang Samaria. Orang Samaria dianggap warga negara kelas bawah, dianggap tak berbudaya, dianggap orang pinggiran dan dianggap kafir. Dalam kebiasaan Yahudi, orang Samaria bukan saudara, bukan sesama.
Tapi apa yang terjadi. Berbeda jauh dengan sang Imam dan bung Lewi tadi, orang Samaria tergerak hatinya, iba hatinya. Ditolongnya si korban perampokan. Luka-lukanya dibersihkan dengan minyak dan anggur, dan dibalut dengan kain bersih. Korban dinaikkan ke punggung keledai dan dibawa ke rumah penginapan untuk dirawat. Ditinggalkannya sejumlah uang kepada petugas losmen, untuk meneruskan perawatan.
Kisah yang semula dramatis dan mengharukan, berakhir happy ending. Sang korban selamat, meski hartanya tetap hilang. Tetapi, suatu pesan telah dikirim. Sesama adalah mereka yang memberi dan menerima welas asih (compassion). Sesama adalah siapa saja, tak peduli apa agamanya, apa sukunya, apa bangsanya, apa pekerjaannya, apa partainya, apa golongannya. Sesama tak kenal pangkat, tak tahu kaya-miskin, anti diskriminasi. Semua sama dan sama semua.
Satu cerita bisa mempunyai banyak perspektif, dan kisah di atas memilih untuk menggunakan sudut-pandang yang menyejukkan. Kisah begal yang biasanya kejam diubah menjadi pesan yang menyejukkan. Pemimpin agama dan kaum ningrat bisa menjadi teladan, namun bila tidak mempunyai welas-asih, mereka menjadi bukan siapa-siapa. Pemimpin dan kaum ningrat bisa dibaca sebagai orang kaya, orang pandai, orang suci, atau orang berpangkat. Bisa saja saya, dia atau kita semua. Orang Samaria menjadi contoh, meski disingkirkan, welas-asih tetap di sana, dan dia adalah sesama.
Kisah begal yang sedang marak di Indonesia dan cerita begal di kota Yerikho, mempunyai alur-alur kesamaan dan perbedaan. Keduanya berkisah tentang kekejaman anak manusia kepada anak manusia lainnya. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Homo homini lupus.
Kisah begal di Indonesia mengambil angle kekejaman dan kesadisan yang harus diwaspadai. Sementara begal di Yerikho membawa pesan damai dan kasih yang dibawa oleh orang Samaria. Waspada dan welas-asih, dua sikap yang digabungkan dalam istilah lain. “Sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”.
Sudut pandang lain yang bisa diambil dari kisah-kisah begal di Indonesia adalah soal timing. Kisah yang digambarkan menyeramkan dan mengancam para pengguna jalan, di kota-kota besar, di Indonesia, menjadi isu yang menimbulkan tanda tanya. Ia tiba-tiba menyeruak, dan menjadi trending topic di dunia informasi. “Begal” ujug-ujug hidup kembali. Mengganti istilah “perampok” dan “penodong”, yang sudah lama beremayam di kamus Bahasa Indonesia.
Melahirkan pertanyaan yang tak mudah dijawab. Lebih-lebih, “begal”, sejak awal sudah mengandung konotasi yang sadis, menyeramkan dan biasanya berakhir dengan kematian. Layak diduga, “begalisme” sengaja dimunculkan kembali, agar arah perhatian masyarakat yang tegang menghadapi isu politik yang jauh lebih serius dan seram, bisa sedikit diredam.
“Waspada dan welas-asih”, “cerdik dan tulus”, “berani karena benar”, adalah ungkapan-ungkapan yang mengandung sikap yang kadang kontradiktif tapi sering dibutuhkan. Dua sikap yang dibutuhkan saat kita berada di dunia yang kejam, yang penuh dengan serigala.
wage said:
Ikut menyimak dan salam utk Bpk Susbandono.
SUARA said:
Begal
Bener bener Galau ……..
Be Gallant ………………….
Menyikapinya juga , ngagem lampah : amBEGan ALus.
Kagem pak Subandono , kita pilih yang mana.
Semoga kita menjadi negeri ingkang Positif.
Kawilujengan kagem Sedayanipun.
PM. Susbandono said:
BAHAGIA
Rasa bahagia menjadi incaran semua orang. Tapi, tak mudah meraihnya. Semua orang mendambakannya, semua orang mengejarnya, semua orang merindukannya, tapi hanya sedikit yang memperolehnya. Orang sering kita terkecoh pada rasa-rasa lain yang ternyata “bukan bahagia”. Kemudian, malah berbuah kecewa.
Mengapa sulit? Hambatan pertama, karena orang tidak tahu persis, apa dan bagaimana sesungguhnya “bahagia” itu. Karena ketak-tahuan itu, orang keliru. Sesuatu yang semula dianggap membahagiakan, ternyata tidak. Malahan, bisa jadi, palsu. Sepertinya itu, nyatanya bukan. Bahkan, kemudian, melahirkan “bahagia-bahagia” lain yang, diantaranya, biasa disebut “gundah”, atau “marah”.
Kedua, “bahagia” itu tidak sama. Rambut sama hitam, bahagia orang, siapa tahu. Sesuatu yang membuat bahagia seseorang, belum tentu membahagiakan orang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda, dengan “rasa bahagia” yang berbeda pula. “Humans differ widely from one another”, begitu Margaret W. Matlin, Guru Besar Psikologi dari Amerika, menjadikannya sebagai tema kedua, dari 3 spirit Psikologi yang diyakininya.
Karena tak sama, rasa itu sulit diceritakan kepada orang lain. Karena tak tahu persis, apa yang sejatinya dimiliki kawannya, orang susah untuk meng-copy-paste “bahagia”. Istilah sama, tapi rasa bisa beda. Alih-alih mendapatkan kebahagiaan, yang terjadi malah sang teman meniru dengan keliru. Hasilnya, tak jelas juntrungan-nya.
Hambatan ketiga, karena “bahagia” itu relatif. Ini mirip dengan hambatan kedua. Sesuatu yang sama, dengan kadar yang sama atau bahkan lebih kental, tidak bisa membuat 2 manusia sama-sama bahagia. Bagi seseorang, kadar yang “relatif” tipis, dapat membahagiakan dirinya. Dengan kadar yang lebih tebal, ia belum tentu membahagiakan orang lain. Ini sebab musabab dari apa yang disebut sebagai “comparative happiness”.
Keempat, manusia senantiasa berubah. Pada umumnya, perubahan itu berupa “perkembangan”. Bila hari ini sesuatu membuat seseorang bahagia, besok, rasa itu bisa hilang. Itu karena “tuntutan” dalam dirinya berkembang dan rasa gundah, kebalikan dari bahagia, bisa datang tiba-tiba. Ia menyergap, sering tak diduga kedatangan dan kepergiannya. Buku legendaris karangan novelis Rusia, Aleksandr Solzhenitsyn, berjudul “The Gulag Atchipelago”, menyebutkan dengan suatu ungkapan yang pas, “Manusia bukan gunung”.
Tak heran jika kemudian manusia jarang mampu merangkul rasa itu. Atau, kalau pun bisa, belum tentu besok atau lusa, rasa yang sama masih merajainya. Rasa itu bisa dengan cepat berganti, tergantung bagaimana wadah dipelihara dari dalam sana. Bila tempatnya mudah pecah, tak heran, bila isinya juga gampang tumpah. Atau, “mangkuk” itu tiba-tiba, menjadi lebih besar atau kecil, maka isinya hilang, tak tahu rimbanya. Belum kalau ia mudah pecah.
Banyak teori mengenai rasa ini yang ditulis di buku-buku best seller, dengan pengarang kelas wahid. Namun, tetap saja, “rasa bahagia” tak mudah digenggam orang. Dimana-mana, orang mengeluh karena merasa kecewa, atau sedih, atau marah, atau jengkel, atau gundah, atau tak puas. Yang lain, meski tak bereaksi, merasa tak nyaman dengan hidupnya. Singkatnya, dia merasa tidak bahagia. Susah memang.
Karena handicap-nya banyak dan subyektif, orang sulit menata hatinya untuk bahagia. Rasa itu keluar dari dalam, kualitatif dan intrinsik. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa “rasa bahagia” tak ada hubungannya dengan sesuatu yang mudah tertangkap dengan panca-indera.
Tak heran kalau “materi” tak bisa membuat seseorang bahagia. Beberapa variabel pernah diset untuk menentukan aspek yang membuat seseorang atau suatu komunitas, bahagia. Hasilnya justru sebaliknya. Kekuasaan, kepandaian, ketenaran, kekayaan dan sejenisnya tak barkaitan langsung dengan rasa bahagia. Paling tidak, itu persepsi yang ditangkap dari sejumlah sampel yang menjadi obyek studi.
Biasanya, “bahagia” mudah disamarkan dengan “comparative happiness”. Seorang karyawan yang merasa dapat merit increase tinggi, semula “bahagia”, namun seketika berubah kecewa saat mengetahui kawan-kawannya mendapat kenaikan gaji yang lebih tinggi daripadanya. Seorang mahasiswa yang mendapat nilai A, berubah kecewa ketika mengetahui bahwa nilai itu diraih banyak teman sekelasnya. Atau, rasa “bahagia” seorang pesohor yang tiba-tiba raib saat mengetahui mobil Lamborghini yang baru dibelinya, juga dimiliki pesaingnya.
Itu contoh comparative happiness, yang dirasakan oleh kebanyakan orang. Ia bukan rasa bahagia sejati, yang biasanya awet dan tak mudah terpengaruh oleh situasi yang melingkupinya. Sepanjang rasa itu masih tergantung hasil perbandingan dengan “orang lain”, maka dapat dipastikan bahwa itu bukan rasa yang sebenarnya.
Meski sulit, saya berhasil menemukan rasa bahagia sejati pada diri seorang tetangga di kampung kami. Pendidikannya tak tamat SD, dan berprofesi sebagai sopir bajaj. Kebetulan, kendaraan seperti sandal jepit itu sudah dimilikinya sendiri. Isterinya membuka salon kecil, dan selalu ramai dikunjungi pelanggannya. Saya biasa memanggilnya, pak Kuat.
Meski pendiam, tapi wajahnya tak pernah kehilangan senyum. Setiap kali diusik mengenai soal kehidupan, dia selalu keluar dengan kalimat yang sama. “Saya serahkan kepada Yang Maha Kuasa”. Ketika dia mengalami kecelakaan dan bajajnya harus di-grounded, karena disenggol Metromini, saya penasaran, pingin tahu apa yang akan dilakukannya. Tapi, kalimat serupa kembali terdengar. Dua anaknya kuliah di PTS, dan kembali terdengar jawaban yang sama, saat ditanya, apa rencana setelah mereka lulus.
Kalimat yang sama juga terdengar saat saya kepo menanyakan dari mana dana untuk membiayai kuliah kedua anaknya. Kalimat itu terlihat tulus keluar dari dalam dan selalu siap diucapkan, saat persoalan hidup mengusik dirinya.
Pak Kuat tak pernah terlihat galau, sedih atau kecewa. Pembawaannya ramah dan tangannya selalu melambai tinggi saat kenalannya terlihat di kejauhan. Dan yang penting, dia tak pernah terusik dengan keadaan tetangganya atau orang lain, yang lebih memiliki keberuntungan dibanding dirinya. Pak Kuat hanya berusaha sekuat tenaga, dengan kerja keras, tapi selalu nrimo, sumeleh, meletakkan semua beban hidup dan menyerahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Saya yakin, dia tak memahami mengenai “teori bahagia” yang saya tulis di atas, atau teori-teori lain yang diajarkan dari bangku kuliah atau buku-buku teks yang tebal. Hidupnya hanya hadir dan mengalir. Saya selalu berusaha menirunya, meski sering kali gagal.
Lantas, bagaimana caranya agar orang bisa bahagia seperti pak Kuat? Bagaimana bisa mempraktekkan resepnya yang sederhana tapi cespleng? Tiba-tiba saya teringat suatu ungkapan yang pernah diucapkan oleh Dave Gardner, artis ternama dari Amerika. Sukses datang ketika meraih apa yang kita inginkan, sementara kebahagiaan terjadi jika senantiasa bersyukur dengan apa yang kita dapat.
“Success is getting what you want, happiness is wanting what you get”.
PM. Susbandono said:
Udin.
Nama sederhana yang dimiliki banyak orang Indonesia, “Udin”. Di Jawa saya menemukannya. Orang Sunda banyak memakainya, kaum Betawi akrab dengan nama ini. Begitu juga dengan suku-suku lain di Sumatera dan Kalimantan. “Udin” menjadi nama kebanyakan, dipakai berbagai kalangan, untuk julukan atau panggilan singkat, dari sebuah nama panjang, yang berbeda-beda. Ada Zaenudin, Syamsudin, Syafrudin, Kamaludin, dan masih banyak nama lainnya. Semuanya menggunakan nick name “Udin”.
Terasa akrab dan tanpa jarak, panggilan Udin bahkan menjadi nama kesayangan di banyak keluarga dan komunitas. Lucunya, bila semula seseorang dipanggil “Udin”, kemudian berhasil menjadi orang terpelajar, kaya, terkenal atau pegang posisi, nama itu ditinggalkan. Kemudian, dipanggil dengan sebutan yang lebih keren. Nama lengkapnya muncul, dengan maksud tidak terkesan norak.
Akhirnya “Udin” tetap menjadi nama sederhana, bagi orang “kampungan”, yang biasanya dikonotasikan bodoh, miskin dan tanpa posisi. “Udin” tetap sebutan bagi orang biasa-biasa saja, yang lugu, kadang naif dan gampang dijadikan “korban” oleh “Udin-Udin” yang sudah berganti nama yang lebih panjang.
Pengalaman saya dengan 3 “Udin” akan saya kisahkan, masing-masing dengan keistimewaannya. Mereka masuk dalam kehidupan sehari-hari saya, dengan kesan yang mendalam, bahwa Udin sederhana mempunyai sikap yang tulus, apa adanya tanpa meninggalkan nilai-nilai professional dalam bekerja.
Udin pertama adalah Zaenudin. Udin ini menjadi sopir pribadi di keluarga kami. Mengaku tak lulus SMP, meski saya curiga dia tak tamat SD. Kepandaiannya sulit dipercaya kalau dia pernah duduk di bangku sekolah yang diakuinya. Udin bisa baca-tulis, dengan predikat pas-pasan. Tulisan tangannya sulit dibaca, kalimatnya terputus-putus, tanpa sistematika. Lebih banyak salah menulis kata, dibanding yang benar. Tapi, kami sekeluarga sayang kepadanya.
Udin bekerja sungguh-sungguh. Cara dia mengendarai mobil, tidak istimewa, tetapi cukup memenuhi faktor safety yang menjadi syarat minimum kami. Satu jam sebelum pergi, dia standby di rumah. Menyiapkan mobil dengan saksama, bahkan juga untuk mobil lain yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Dicuci bersih dan dilap dengan apik. Memeriksa hal-hal teknis, meski saya ragu akan kebenaran caranya.
Untuk urusan keuangan, Udin sangat hati-hati. Semuanya dicatat dan dipertanggung-jawabkan dengan benar. Udin mempunyai accountability yang tak kalah rapi dengan akuntan publik dari kantor auditor yang asli. Hal-hal non teknis juga tak luput dari perhatiannya. Seperti mengingatkan beberapa hal yang saya sering lupa melakukannya. “HP-nya tak lupa pak?”, atau “Tiket sudah dibawa?”, saat saya mau ke bandara untuk bepergian ke luar kota.
Singkatnya, Udin menjadi sopir profesional, akuntabel dan rendah hati. Udin tak meninggalkan kesederhanaannya, meski satu-satunya anaknya hampir lulus dari Fakultas Ekonomi sebuah PTS di bilangan Jakarta Selatan.
Udin kedua adalah tukang ojeg. Dia biasa mangkal di ujung gang rumah kami. Nama panjangnya Syamsudin. Badannya agak gempal, meski tetap gesit mengendarai motornya. Tidak seperti tukang ojeg lainnya, Udin ini mempunyai sense Marketing yang spesial.
Dibuatnya kertas-kertas secarik, dengan judul “Udin Ojeg”, dan nomer HP-nya. Dibagikan kertas itu ke banyak tetangga di sekitar tempat dia mangkal. Udin sedang menjual jasa, mungki meniru iklan di TV atau media social lainnya. Saya kebagian secarik.
Sejak itu, Udin Ojeg laris-manis. Dia kewalahan melayani pelanggan. SMS datang silih berganti, dan dia kerja keras, bahkan harus sampai larut malam. Udin menjadi tukang ojeg primadona yang dikenal dan pelayanannya dinikmati banyak orang.
Tapi itu belum cukup. Sejak dia me-launch bisnisnya, Udin memakai uniform baru. Terlihat bersih dan halus bekas setrika. Setetes-dua cipratan parfum dioleskan, entah merek apa, di sekitar tubuhnya. Pelanggan nyaman duduk di belakang boncengannya.
Ironisnya, begitu Udin Ojeg meledak, teman-teman iri. Udin dimusuhi, karena punya banyak penumpang, dus banyak duit. Dia jarang mangkal di pos ojeg lagi. Disamping sibuk melayani pelanggan, juga karena “tak enak” di-bully kawan-kawannya, yang sering tak punya pelanggan.
Udin jemput bola. Dia mendekat ke pelanggan, dengan caranya yang sederhana. Bisnis ojeg telah berubah dengan datangnya teknologi informasi, dan Udin jitu memanfaatkannya. Udin masih ramah meski pelanggannya meningkat pesat. Dia melayani pelanggan dengan sungguh-sungguh. Tarifnya tak dibandrol semaunya, melainkan menggunakan batas bawah. Udin Ojeg adalah contoh bagaimana seseorang pelaku bisnis bersikap professional, memanfaatkan teknologi, mempunyai strategi pemasaran dan tetap memegang customer satisfaction.
Udin ketiga minggu lalu datang ke rumah kami. Saya tidak tahu nama panjangnya. Nampaknya dia tak bisa baca-tulis. Profesinya sebagai “Petugas Pembersih Kamar Mandi”. Dia tahu persis apa yang harus dikerjakannya, dan bahan pembersih apa yang harus disiapkan sang tuan rumah. Udin Kloset, begitu kami memanggilnya, bekerja dengan tekun mulai pukul 08.00 dan baru selesai usai menunaikan sholat magrib di kamar belakang. Sepanjang itu, Udin terus menggosok dan melap seluruh detil kamar-kamar mandi kami. Bagian-bagian kecil disentuhnya dan hasilnya luar biasa. Kamar mandi disulap seperti baru kembali. Tak ada titik noda yang tertinggal di dinding, keran, shower, wastafel atau kloset. Semuanya bersih dan mengkilap.
Udin Kloset pulang setelah senja menjelang. Raut mukanya berseri, sambil sekali-kali membanggakan hasil karyanya. Satu-dua kalimat promosi keluar darinya, meski tetap dengan kesederhanaannya, sebagai “Udin”. Manusia sederhana, “bodoh”, tapi serius, passion, kerja keras dan professional dalam bekerja.
Ketiga Udin tadi mewakili banyak “Udin” lain yang membuktikan bahwa profesionalisme seseorang tidak ditentukan dari tingginya pangkat, pandainya otak, piawainya bersilat lidah atau banyaknya kompensasi yang diperoleh. Seorang sopir, tukang ojeg dan tukang pembersih kamar mandi, menjadi alat peraga bagaimana seharusnya saya, anda dan kita, bisa menjadi makhluk professional yang berintegritas dan passion kepada profesi.
Tak harus muluk-muluk menjadi Direktur atau Manager, Jenderal atau Pengusaha besar untuk membuktikan bahwa makna sebuah pekerjaan tidak terletak di jabatan yang disandangnya, melainkan pada spirit yang ada di dalam sana. Ia sering disebut “gairah” atau passion, dan “Udin” membuktikan hal itu tanpa diminta, tanpa disuruh, tanpa diimingi-imingi pangkat dan upah besar. Ya, “Udin” hanya mempunyai passion.
“Passion is oxygen of the soul” (Bill Butler – Cinematographer terkenal, yang menekuni profesinya hingga sekarang, dengan umur 94 tahun)
Udin Idol said:
lsroil said:
PROPAGANDA ARAB mainstream rupanya.
Ha ha sobat arab mania, pantang mancing dikolam orang
Punyalah akhlakul kharimah
Belajarlah tatakrama
Kalau ingin dakwah banyak blog khusus dakwah ilmu arab
Tidak tahu diri punya blog blog sendiri masih bersiasat masuk ke BLOG jawa.
PM. Susbandono said:
Lagi-lagi Komunikasi
Kalau saja “komunikasi” itu binatang, ia pasti seekor kambing. Kalau saja kambing, ia pasti berwarna hitam. Tidak meleset, kalau membuat metafora dengan mengandaikan “komunikasi” sebagai “kambing hitam”.
Itu yang terjadi di dunia saat ini. Bila masalah atau konflik muncul, selalu menuduh “komunikasi” sebagai penyebabnya. “Komunikasi” selalu diletakkan sebagai syarat pertama dan utama, agar urusan berjalan smooth dan sukses. Problem muncul bila “si kambing hitam” tak berperan sebagaimana mestinya. Penelitian menyebutkan, 80% masalah di dunia industri, disebabkan karena komunikasi yang tidak semestinya. Yang benar bisa berantakan bila disampaikan dengan cara yang keliru. Warna hitam bisa memudar, bila dibicarakan dengan bijak dan baik-baik.
Kejahatan pertama dalam sejarah umat manusia, disebabkan karena komunikasi yang tak tulus dan tak becus. Korban bakaran milik Kain, anak Adam dan Hawa, tak diterima karena hatinya tak ikhlas. Asap berwarna hitam dan melingkar-lingkar berputar disekitar meja altar. Yahwe tak berkenan menerimanya.
Habil, sebaliknya. Asap putih melenggang naik, masuk surga. Kambing muda yang putih dan tambun menunjukkan keihklasan hati Habil. Komunikasi Habil dengan Tuhan sukses, sementara kakaknya, gagal. Akhirnya Kain marah, iri dengan adiknya. Kegagalan komunikasi dengan Tuhan melebar ke Habil. Terjadi gagal komunikasi 2 kali. Kejahatan lahir akibat komunikasi yang amburadul. Habil dipukul tengkuknya, dan tewas, 1-0 untuk kekerasan. Kegagalan komunikasi menjadi dalang pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.
Komunikasi yang semula alamiah dan naluriah, sekarang dibuat canggih. Ilmunya galik-galik, bikin orang pusing tujuh keliling. Mungkin karena tuntutannya berbeda. Universitas membuat Komunikasi menjadi ilmu elit yang keren. Agar kelihatan kompleks, mata kuliah dibuat macam-macam. Ada komunikasi-politik, komunikasi-massa, komunikasi-interpersonal, dan komunikasi-organisasi. Mahasiswa yang gagal, drop out atau bermasalah, disebut “gagal komunikasi”.
Karena gampang-gampang susah, orang harus hati-hati menyikapinya. Orang disebut sukses, karena piawai melakukan komunikasi. Bung Karno mempersatukan 100 juta rakyat Indonesia dari berbagai suku, bahasa, tradisi dan agama, karena jago pidato. Meski tak paham isinya, banyak yang terpukau gaya pidato si Bung. Yang penting, orang menangkap spiritnya. Indonesia bersatu, membuahkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, sentosa, selama-lamanya. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertarahaja, maka, rakyat nurut. Mereka bagaikan tersihir oleh kata-kata Bung Karno. Itu karena Bung Karno orator, jagoan komunikasi.
Pilihannya sederhana, jelas, masuk akal, dan mudah dicerna. Jangan heran kalau ratusan ribu orang menyemut di lapangan IKADA, saat Bung Karno pidato. Kuncinya hanya satu, komunikator harus tahu apa isi yang disampaikan. Penampilan bisa diperankan sesuai gaya masing-masing. Bahasa harus menarik, timing tepat, intonasi pas, seakan tahu kapan hadirin ngantuk, bosan atau lagi bersemangat.
Sahabat saya, executive perusahaan MIGAS nasional, mengatakan : “Tidak ada istilah terlalu banyak, untuk komunikasi”. Tidak berlebihan, tetapi pesan yang ingin disampaikan adalah menjalin komunikasi antar stakeholder sangat penting. Semua masalah bisa diselesaikan, asal mau saling membagi dan mengungkapkan. Catat, betapa digdayanya komunikasi.
Komunikasi itu bakat. Bung Karno mempunyainya dengan sangat kental. Tanpa perlu banyak belajar atau latihan, mampu bicara berjam-jam, dan tetap menarik. Tapi, tak semua orang seperti Bung Karno. Bakat orang berbeda-beda. “Humans differ widely from one another”. Maka, tak usah kecil hati kalau merasa tak mempunyainya.
Silakan bercermin, apakah punya talenta ini. Kalau tidak, kegigihan dan pantang menyerah adalah kuncinya. Latihan dan jam terbang berperan penting. Kalau dua-duanya tak ada, jangan marah kalau disebut “orang tak mampu berkomunikasi”.
Komunikasi tak lepas dari budaya. Ngobrol dengan orang Jerman, berbeda cara dengan orang Jepang. Berbeda lagi bila lawan bicaranya orang Jawa atau Batak. Orang harus tahu gerak-gerik mereka, sebelum diskusi dimulai. Tak ketinggalan tujuan utama, mengapa komunikasi harus dilakukan.
Cerita tentang kelucuan Srimulat jangan ditengah-tengah melayat kerabat meninggal. Atau, jangan cerita yang menguras air mata, bila sedang di tengah kegembiraan pesta ulang tahun seorang teman. Semua ada waktunya, ada tempatnya, ada spiritnya. Satu lagi, karakter konstituen. Sikap orang yang diajak komunikasi, juga sangat penting untuk dipelajari, agar persepsi yang lahir tidak salah arah.
Disamping Komunikasi-politik, Komunikasi-organisasi, terutama komunikasi dengan pekerja, saat ini menjadi isu yang hangat. Di sana ada status, yang tanpa disadari, bisa menjadi hambatan bagi efektivitas komunikasi. Atasan dengan bawahan, atasan dengan sesama atasan, sesama anggota tim atau pimpinan dengan seluruh masyarakat organisasi, adalah leveling yang mudah menjadi jebakan komunikasi.
Komunikasi-pekerja menjadi kritis karena zaman berubah dengan pesat. Informasi yang menjalar dengan sangat cepat melahirkan budaya organisasi yang gampang berubah, volatile, bahkan liar. Salah sedikit dalam penerapan, bisa membuat trust tergerus, bahkan merusak budaya yang dengan susah payah dibangun dalam tempo yang tak sebentar.
Untung, biasanya mereka mempunyai values yang dicanangkan sebagai pilar penyusun budaya. Apalagi kalau salah satunya adalah “keterbukaan”. Itu harapan stakeholder yang ingin dianggap insider, atau bahkan berperan sebagai ambassadors of commitment.
Transparansi menciptakan trust. Trust melahirkan sinergi. Sinergi membuat kinerja. Slogan mudah diucapkan atau ditulis, namun sangat-sangat sulit diterapkan. Apalagi kalau di sana ada dominasi kepentingan, yang sering tersembunyi dan tak disadari.
Memang tidak semua informasi di sebuah organisasi boleh dibagi. Tetapi sebagian besar darinya bisa membuat morale para anggota organisasi terdongkrak. Sekali lagi, kuncinya adalah “cara menyampaikan”.
Mengumumkan berita gembira, seperti kenaikan gaji atau pembagian bonus, di depan rapat umum adalah keceriaan, dus gampang dilakukan. Tetapi menyampaikan bad news, dengan bungkus apa saja, harus dikemas apik dan saksama. Waktunya ditimbang, suasananya dihitung. Jangan asal ucap, lebih-lebih bila belum rampung disiapkan. Bad news tidak lazim diumumkan di depan khalayak ramai, karena mudah melahirkan sikap defensif yang kontra-produktif. Berita menyenangkan mudah disampaikan, kabar sedih memerlukan perhatian ekstra agar tak mengecewakan orang banyak.
Sekali lagi, komunikasi itu gampang-gampang susah. Menjadi lebih mudah bila empati kedua belah pihak, terus menerus dibangun. Sabar harus dikedepankan, telaten harus dijunjung tinggi. Dijamin, trust gampang muncul diantara atasan dan bawahan.
Banyak hal-ihwal komunikasi di tempat kerja yang harus disimak dengan hati-hati. Komunikasi dalam rapat, komunikasi melalui tulisan, komunikasi dalam krisis, komunikasi melalui grapevine, atau komunikasi informal. Secanggih apa pun alat komunikasi yang digunakan, faktor manusia tetap paling menentukan. Di sana ada “roh” dan “niat” yang tak bisa digantikan dengan teknologi apa pun. Jangan ada agenda kecil yang disembunyikan.
Komunikasi bukan hanya apa yang didengar, dilihat, atau dirasakan. Bukan hanya sesuatu yang bisa ditangkap dengan panca indera. Bukan pula sekedar tulisan, gambar atau ucapan semata-mata. Ia lebih banyak berada dibalik semua media itu. Ia obyek tak kasat mata, sering mewujud dalam bentuk abstrak, karena ia adalah seni.
“The most important thing in communication is hearing what isn’t said.” – (Peter Drucker – Management Guru).
PM. Susbandono said:
Lagi-lagi SDM
Beberapa teman mengkritik saya melalui media elektronik. Sebagian bahkan dengan nada menyindir. “Kok artikelmu tak pernah lagi menyasar isu Sumber Daya Manusia?. Apakah sudah beralih profesi menjadi politikus, pengamat sosial-ekonomi, kritikus film atau bahkan artis?”.
Saya terhenyak dan nyaris tak bereaksi. Kritik itu pas sekali. Selama ini saya nggrambyang, melebar kemana-mana. Menimbulkan tanda tanya, apakah SDM sudah tak penting lagi?. Apakah isu SDM tak hangat lagi?. Apakah SDM Indonesia sudah “baik-baik aja”?
Tanpa terasa, tak sengaja, “Renungan akhir Minggu”, yang selama ini, terbit setiap Kamis malam atau Jumat pagi, sudah lama (sekali) tak mengurai masalah SDM. Tepatnya, tidak lagi bicara mengenai hal yang menyoal “Pengembangan SDM” atau “People Development”. Bukankah itu ranah inti pergumulan hidup saya dan kritis untuk diangkat ke permukaan?.
Baiklah, izinkan saya “menebus dosa” dengan, kali ini, mengajak anda berbincang ringan tentang masalah SDM. Disamping untuk memupus kritik diatas, juga menegaskan bahwa topik SDM tak pernah kurang urgensinya bagi negara kita tercinta.
Kebetulan, saya baru saja membaca sebuah blog, “Blog Strategi + Managemen”. Terbitan terbaru memuat artikel berjudul : “Kenapa 92% Karyawan Indonesia Tidak Termotivasi dengan Pekerjaannya?”. Kaget saya membaca judul yang bombastis dan dramatis. Statistik yang mengejutkan dan membuat nyali mereka, yang mengaku profesional di ranah SDM, merosot ke titik nadir. Benarkah hampir semua (92%) karyawan Indonesia unmotivated?. Gallup Worldwide, lembaga riset internasional, yang melansir hasil penelitian lembaga riset internasional itu, mengaku menelisik 73 ribu responden dari 141 negara di dunia, termasuk Indonesia.Masih menurut Gallup, karyawan yang ditandai tidak mempunyai motivasi itu, hanya melakukan ritual harian di tempat kerja, dengan aktivitas “begitu-begitu” saja. Berangkat kerja, menyelesaikan tugas seadanya, segera pulang, dan terima gaji setiap akhir bulan.Mungkin yang dimaksud adalah mereka bekerja tanpa passion, tak memahami tujuan pekerjaan itu sendiri, apalagi bersentuhan dengan objektif dari organisasi. “Gambar besar” dari seluruh rangkaian pekerjaan tak berkaitan dan tak bermakna bagi spirit hidupnya. Goal perusahaan tak align dengan individu dan karyawan bekerja secara mekanistis semata-mata.
Artikel kedua, yang juga saya kutip dari blog diatas, tak kalah menyedihkan bagi dunia industri kita. Judulnya : “Kenapa Produktivitas Karyawan Indonesia hanya Sepersepuluh Karyawan Singapore”.
Bahwa manusia Indonesia pada umumnya kalah produktif dibanding Singaporean, tentunya sudah menjadi rahasia umum. Tetapi, kalau perbandingannya begitu njomplang, 1 melawan 10, pantas membuat shock dan ternganga-nganga. Apa benar output yang dikeluarkan manusia Indonesia hanya sepersepuluh dibanding orang Singapore? Apa boleh buat, hitung-hitungan matematika mengatakan demikian.Yang membuat kita tambah nelangsa, negara tetangga kita lainnya, Malaysia, mempunyai angka 4 kali lebih tinggi dibanding Indonesia. Satu orang Indonesia mengeluarkan produk hanya seperempat kali dibanding seorang Malay.Rumus produktivitas yang dipakai, dibuat berdasarkan total output ekonomi negara ybs, (yang lazim direpresentasikan dengan Produk Domestik Bruto/PDB) dibagi dengan jumlah total tenaga kerja yang ada di negara tersebut. Meski akurasi dari dua indikator tadi masih bisa dipertanyakan, tapi cukup membuat kita kecil hati. Dua angka yang seolah-olah berdiri sendiri, ternyata berkaitan erat, satu sama lain. Manusia kerja yang tidak mempunyai motivasi, tidak engaged, tidak happy, tidak antusias, atau tidak mempunyai passion, hampir pasti hanya menjadi mediocre, mengeluarkan produktivitas yang pas-pasan.
Masalahnya kelihatan seperti lingkaran setan, chick or egg atau bagaikan makan buah simalakama.Menjadi gamblang bahwa kunci dari semua masalah tadi terletak pada kualitas manusia Indonesia. Kegigihan belum menjadi sikap dalam berkarya, sementara perseverance bukan salah satu values yang terinternalisasi dengan sungguh-sungguh. Meski studi Gallup dan hitung-hitungan produktivitas untuk mengukur prestasi nasional, namun formulanya bisa diterapkan dalam skala perusahaan atau organisasi. Pendekatan yang sama bisa digunakan, dengan asumsi yang tentunya harus disesuaikan dengan kondisi lokal. Yang penting adalah, premis yang dipakai sama. Karyawan dengan motivasi tinggi, mempunyai produktivitas yang tinggi pula. Begitu juga sebaliknya.Menjadi tantangan bagi seluruh pelaku bisnis di Indonesia, agar membuat karyawan bermotivasi lebih tinggi dengan passion yang lebih dalam.
Motivasi dipacu bila mereka tahu apa yang dikerjakannya dan paham implikasinya bagi obyektif perusahaan yang lebih besar. Karyawan dan organisasi adalah dua “makhluk” yang saling tergantung dan membutuhkan, symbiosis mutualistic. Kalau karyawan bekerja lebih produktif, maka perusahaan akan lebih maju. Kalau perusahaan tumbuh berkembang, kesempatan karyawan untuk meningkat juga lebih terbuka. Singkatnya, karyawan berjalan seiring dengan organisasi. Karyawan yang produktif, membuat perusahaan bertambah maju, lantas memantul ke karyawan menjadi lebih maju lagi. Begitu mekanismenya, bergulir otomatis, seperti spiral yang melingkar keluar, semakin lama semakin lebar.
Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah, dari titik mana pertama kali harus melangkah. Lingkup kecil, seperti organisasi atau besar seperti negara, mempunyai model yang sama, meski dengan skala yang berbeda. Banyak pertanyaan dengan jawaban yang sama, yaitu “pendidikan bangsa”, atau “pengembangan SDM”. “People development” adalah utama dan pertama. Dalam konteks itu, yang dimaksud adalah pendidikan manusia yang paripurna, pengembangan manusia seutuhnya. Pertama, mendidik karakternya, kemudian raganya. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”.
Dengan ungkapan yang senada, Collin Powel, pensiunan jenderal perang, mantan Menteri Sekretaris Negara Amerika, mengatakan:Organization does not really accomplish anything.Plans do not accomplish anything, either.Theories of Management do not matter much.Endeavors succeed or fail because of the people involved. Only by developing people to be the best will you accomplish great deeds.
sasmita said:
Satu hal.
Banyak penghuni bumi Ibu Pertiwi menafikan tanah tumpah darahnya sendiri.
Tanah negeri seberang yg dipuja puji
Kakek nenek pejuang sendiri di nafikan
Kakek moyang tanah air lain dipuja puja.
Itulah problem besar bangsa ini.
Memanusiakan manusia it’s okey, prinsipal menhormati saling.
Bagaimana dengan hormat pada allamnya
Banyak yg melupakan
Eling, ingat
Hidden message, titik kita berada inilah yg wajib kita jaga, hormat, kita ikuti tuntunannya.
Tanah air ibu Pertiwi
Sudah lengkap
Allamnya keren
Way of life yang menghormati allam seisimya the great idea.
Memuliakan bumi Ibu Petiwi itu kehormatan khusus manusia yg sudah menyadari.
Semoga kita semua sadar, menyadari, dan sadar diri.
Kemuliaan tanah air ini, dgn way of life originalnyalah yang patut kita jadikan Panduan hidup.
Final resultnya
Manusianya lembah manah
manusia penuh damai, ceria dalam bersosialisai, guyub gotong royong.
Pemimpin negerinya berkapasitas pemimpin yang sebenar benarnya
Pengusahanya baik budi
Rakyatnya ramah, patuh tegakkan bela negara.
Revolusi Mental, Kharakter Nation Building
Be back
Kembali KE JATIDIRI NEGERI SENDIRI
TEGAKLAH BERKEMBANG MENYINARI JIWA JIWA RAKYAT INDONESIA RAYA
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya jadilah manusia Indomesia seUTUHnya.
sabdadewi said:
Sugeng siang @ Pak Sus, Mas Sasmita lan Sederek Sedoyo,
Nuwunsewu bade tumut nimbrung, gayeng lan remen tenan diskusinipun.
SDM = ukuran sendok makan 🙂 …
Kembali ke jati diri tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Nusantara sudahlah generasi strain/ filteran dari berbagai macam ras suku bangsa yang berasimilasi dengan kakek-nenek moyang Jawa sejak ribuan tahun lalu.
Barangkali inilah tantangannya untuk menjadi manusia Nusantara di masa yang akan datang. menjadi Jawa bukan berarti merujuk pada suku bangsa tapi jiwa yang njawani dan penuh welas asih baik kepada sesama maupun semua makhluk.
Rahayu ❤ …
sasmita said:
ESOK
Katak katak dalam tempurung bisa lepas dari tempurungnya.
Semoga bebek adus nang kali sadar,
kali kali sekarang keruh dan kotor.
Lahirlah Elang elang Garuda menari tajam paruh dan kilatan matanya.
Terbang kepakkan sayap dengan gagah perkasa di Nusa Indonesia Raya.
sky said:
Hadeeeh..
cahya said:
@ sasmita, setuju
Yang tidak setuju semoga cepat sadar
Yang sepakat bahagialah dan optimis hidup selamat di negeri nan indah ini.
Makan minum kita dari tanah dan air Indonesia.
Sepatutnya kita hormat taat pada semua yang dari tanah air sendiri
Semua memang buah dari kesadaran diri
Kesadaran diri refleksi latar kehidupan, wawasan pemikiran dan kedalaman kerohanian masing masing.
Memanusiakan manusia
Menhormati manusia lain
Menghormati tanah air sendiri
Lebih mulia…..
sabdadewi said:
@ Cahya, Sasmita, SUARA atau Siapapun nama njenengan,
Hmmm, benarkah apa yang njenengan katakan itu?…
Mohon di baca lagi dengan hati yang jernih tulisan-tulisan Bpk Susbandono yang cerdas dan mencerahkan di atas tersebut.
Perbedaan sudut pandang tentunya tak bisa lepas dari multikultur Indonesia, dengan kembali ke budaya dan spiritual Jawa yang adiluhung itu saja sudahlah sesuatu yang patut kita dukung dan apresiasi.
kalau njenengan memiliki pendapat sendiri tentang bagaimana laku dan sebaiknya orang ‘Jawa’ itu, mohon di sharingkan saja di pendopo ini tanpa harus ber’katak-katak dalam tempurung.
Bukankah guru yang baik bukanlah mengarahkan atau menggiring tetapi hanya menunjukkan arah 🙂 .
Rahayu…
the same as.... said:
hadeeh , ngomong keong, tidak ada kata yang mencerahkan , tidak damai , hanya bisa mengumpat , merendahkan orang lain ….huh , bosan..
cahya said:
Saudara dewi belajarlah dari nurani
Bukan baca baca kertas saja, dari awal sudah dikabarkan.
Nanti anda tahu betul katak dalam tempurung.
Beda pandangan saya mahfum
Tetapi balance information juga pengarah
Geramnya hati pendahulu yg sudah mengerti memang ada :
Katak dalamtempurung, diwenehi ati ngrogoh re,pelo, kere munggah bale, KEBLINGER. Seratan gatoloco dan sebagainya.
ADA YG LEBIH HALUS
eling, bejane kang eling lan waspada
Halus lagi :
Ati ati
Katak katak dalam tempurung adalah yang kintir arus kang ” nguyahi segara ”
Saya tidak nyenut
Biarlah Imdomesia sadar, biarlah duia terbuka
Ada benalu kapasitas, dimana dia berada tumbuh nesar kemudian pasti memberangus budaya setempat yg sudah baik hati menerimanya.
Itulah katak katak dalammtempurung,
Maaf parameter orangnya
Saya beritahu cirinya :
Yang bisa membaca ciri ciri ini sudah masuk nyastro jendra hayumingrat
Yaitu siapapun apapunnyg membaca katak katak dlm te,purun dia marah
Dialah katak katak itu
Apresiasi seseorang pada sesuatu adalah menunjukkan kapasitas orangnya. Ok
Maaf biarlah yg marah , merasakan sendiri dan bisa jadi pengukur dimana kwalitas knowledgenya.
Katak lebih sangat halus daripada kata kafir,
PAHAM dan jadilah CERDAS
some else said:
Kalau tidak suka dan benci dengan agama yang sering mengatakan kafir maka saran saya , hancur leburkan negara asal agama itu ….
certainly not hard because you think the earth is only for peppercorns.
the same as.... said:
Dari pada omong tidak karuan , lebih baik berdoa , berupaya dan kreatif….
Sudah jelas bahwa NKRI sekarang tambah acak adul , morat marit , tambah bobrok , dipimpin oleh manusia yang tidak tegas , tidak cerdas , kurang pengalaman dan hasil dari pencitraan saja…….
cahya said:
Ati ati omong bluk
Lesanmu gelatimu dewe.
sudrun said:
Apa yang bisa dibanggakan oleh rakyat kecil bila negara sudah seperti sekarang , nilai rupiah terus anjlok…
Banyak kasus besar bermunculan dan belum terselesaikan ,karena tidak ada keberanian dan ketegasan…
Negeri ini seperti auto pilot , seakan tidak ada pemimpin tertinggi lalu rakyat akan digiring kemana,.
Antar elite ,partai wakil rakyat tawuran berebut kekuasaan, tidak ngurusi rakyat , hanya ngurusi wetenge dewe supaya wareg kekenyangan…
Mereka disana itu sebenarnya yang menjadi katak , bisa jadi kalau rakyat marah akan berubah menjadi rajawali yang akan mematok dan memangsa para katak…
cahya said:
Sing ngerti NGGUYU
Western bahasa inggris
Barat bahasa Indonesia
Kulon bahasa planetnya
Itulah musuh sebenar benarnya Nusantara Ibu Pertiwi.
Pengkhianatan modusnya.
Pemicu kedengkian operationnya
Yang marah tobatlah
Yang mengerti diamlah.
Tanah air bersaksi
Soul penanggung ” gedhene sakmrica bersaksi ”
Sing maido berilah cakraning kala.
……….. a. Bird ……..
some else said:
Kalau benci dengan agama Islam maka bencilah sumbernya ,jangan membenci saudara sendiri yang sudah terlanjur memeluk agama itu , mereka tidak mengerti karena banyak sebab…
Kalau mampu , bedoalah dan terbanglah ke Mekkah lalu ambil batu hajar ashwad dan buang ke lautan sana….
some else said:
Sing ngerti NGGUYU
Western bahasa inggris
Barat bahasa Indonesia
Kulon bahasa planetnya
Itulah musuh sebenar benarnya Nusantara Ibu Pertiwi.
Pengkhianatan modusnya.
Pemicu kedengkian operationnya
KULON , sering saya dengar sebagai jawaban dari orang jawa ketika akan umroh dan haji….
Silakan pergi kesana dan hancur leburkan tempatnya dari pada Anda menebar rasa permusuhan antar umat bangsa saudara sendiri…mereka kebanyakan tidak mengerti , hanya manusia lugu atau patuh ,bodoh atau entah apa lagi namanya
some else said:
Berilah nasehat yang baik dan bijaksana , berikan pemahaman dan duduk persoalan nya…..
Kalau Anda memang tahu dan waskito , berilmu sundul langit maka gaib apa yang mendompleng dalam agama yang sering mengatakan kafir…..
some else said:
Semar saja tidak pernah berkata sejahat itu apalagi menebar kebencian…
Buku Gatholoco hanyalah sebagai ungkapan rasa orang jawa ketika sudah dikhianati atau dibodohi oleh bangsa monco , rumah yang rirampas oleh sang tamu….
Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagat yang menyelesaikan masalah ini dan pernahkah Anda tahu bahwa sanepan dan kiasnya , SEMAR telah datang berkunjung kerumah sendiri yang telah lamma ditinggal danberusaha mengusir para tamu dari rumahnya…
some else said:
Saya saja yang dianggap wong sedheng gendeng pernah tahu / diberitahu bahwa Semar atau Budha sudah berkunjung di tanah Arab , apakah Anda tahu maknanya tentang ini…??
wungu said:
Iyo mampir tok
saiki lagi ngulur gelagahing klilat atining kukus
kang some else
Sejatining marmati
sejatining Budi kang didharmana
Sampun manggon ing panggon
sedaya ngendikanipun panjenengan lerres
maturunuwun negesi kemawon.
Jawa iku yen ditaling tarung baru muni
inhgig kepanggih ingkangan panjenengan nenuwun
salam kagem
sedayanipun
Ati ati ilmi Jawi
saged ngukur jeeuning kedunging manungsa
yen ana kang emutaken kedahing maturnuwun
wong sawahe arep dirubung wereng wereng oraweruh.
Sing ngelingno malah dipendheli.
kagem nak dewi belajar waskita ing jejering tembung.
Iki puncakipun jaman kalabendu
dadio priyagung kang adi jagangane, siji ing panggonong suku dri.
siji nyawiji ing panggoning wiji diri.
teteg tatag tutug nuthuk mbegegeg ugek ugek.
he he he
Semut ireng mlaku mlilir lirak lirik
Mlaku mlampah tanpa bala
tanpa bala nggawa mala
lagi tiwikrama…..
some else said:
Kang Wungu , salam dan tidak lupa hormat saya kepada sedoyonipun..
Kita tahu apa yang sedang terjadi , semua sedang berjalan sesuai janji dari Poro winasis , poro leluhur kita….
Hutang harus terbayar , malu harus dibayar malu , apa apa yang bukan haknya harus dikembalikan kepada Empunya…..
Salam Maneges..
wungu said:
He he he
iwak gedhe silem
wonten ingkang kedah wedar
wonten…..
ngapunten
mijikuhibiniu
Uhu uhu
u
u
u
suminaring cakraning cakra
Wungu .
PM. Susbandono said:
COMFORT ZONE
Menjajah bangsa lain hingga 350 tahun, bukan hal yang mudah. Tapi Belanda pernah melakukannya. Dan tanah jajahan itu bernama Nusantara, sekarang Indonesia. Jarak yang membentang ribuan mil, antara negara penjajah dan yang dijajah, disekat beberapa benua dan samudera, dengan teknologi super kuno, bukan halangan untuk mempertahankan kolonialisasi di tanah Nusantara.
Aneh? Ya, tapi nyata. Itu yang terjadi, “penjajahan manusia atas manusia”, menjadi “penjajahan bangsa atas bangsa”. “Exploitation de long par long” menjadi “exploitation de nation par nation”, kata Bung Karno dalam salah satu pidatonya. Namun, mengapa bisa begitu lama?
Alasan ini pernah mengemuka. Orang Indonesia berada di daerah nyaman, dan cenderung betah berada di dalamnya. Comfort zone menina-bobokan, membuat terlena dalam kenikmatan iklim dan cuaca ramah dan bersahabat yang selalu menyelimutinya. Tak kenal musim dingin bersalju atau angin kering yang panas dan menyengat. Tak ada padang pasir yang terik, atau salju yang membeku, sekali pun hanya 1 hari. Orang Indonesia mudah kenyang dengan kesuburan tanahnya. Gampang puas dengan kekayaan alamnya. Semuanya, membuat budaya bangsa dekat dan erat dalam dekapan comfort zone. Dan itu membiarkan sang penjajah merajalela mengunyah buah dari nina-bobo comfort zone. “Begini saja enak, mengapa harus berubah”. Puas menjadi rasa yang sangat mudah didapat.
Area nyaman tidak hanya menyergap bangsa Indonesia secara makro, tapi mengerucut ke relung-relung kehidupan mikro. Menusuk hingga lingkup masyarakat, komunitas, organisasi, perusahaan bahkan keluarga. Comfort zone melahirkan kelembekan, mematikan daya juang, menutup lubang terobosan di depan mata, yang sebenarnya peluang. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan, karena ia lahir dari lingkungan yang memanjakan, selalu mengirim kemudahan, menghangatkan kebekuan dan menyejukkan kesumpekan.
Singkatnya, hidup tak perlu diperjuangkan. Ia datang dengan sendirinya, tanpa diminta, tak usah direbut. Penjajah biar saja ada, asal tak membuat hidup lebih merana. Padahal, hidup sebenarnya terjadi saat orang meninggalkan area itu. Life begins at the end of your comfort zone. Kalau masih ada di dalamnya, sejatinya “hidup” belum benar-benar terwujud.
Comfort zone adalah suasana yang membuat kepuasan hadir dengan mudah meski dengan usaha minimal. Orang yang berada dalam kondisi ini, hanya mengeluarkan perilaku terbatas untuk menghasilkan kinerja yang sedang-sedang saja, biasanya tak ada resiko yang terlibat di dalamnya. “Where our uncertainty, scarcity and vulnerability are minimized – where we believe, we’ll have access to enough love, food, talent, time, admiration. Where we feel, we have some control”. (Brene Brown)
Proteksi menjadi salah satu biang penyebab. Orang yang “karyanya” atau “hidupnya” atau bahkan dirinya dilindungi, oleh siapa pun, untuk hal apa pun, di tempat mana pun, sejatinya sedang dalam cengkeraman comfort zone. Sayang, proteksi sering tak kasat mata. Tak mudah untuk menyadari dia berada dalam lingkupnya. Proteksi adalah kekuatan siluman yang membuat seolah-olah kuat. Proteksi menciptakan kenikmatan dan kedamaian semu. Kenikmatan yang menghanyutkan. Kedamaian “palsu”, menghalangi orang masuk dalam kondisi stress.
Padahal, sampai titik tertentu, relax tidak melahirkan performance. Sampai tahap tertentu, stress atau anxiety justru memicu dan memacu kinerja. Tanpa stress tak ada pencapaian, no deliveries. “Tenang-tenang” saja identik dengan tanpa kerja, walhasil, tanpa karya. Padahal area kenyamanan menghalangi munculnya fighting spirit. Disitulah comfort zone menjadi daerah beracun yang harus segera ditingggalkan.
Caranya tak mudah. Comfort zone terlihat tak nyata, samar-samar. Apalagi, karena ia menghanyutkan, membuat terlena. Bila merasa selalu nyaman, selalu sukses, tak ada halangan, selalu berjalan mulus, padahal usaha yang dikeluarkan minimal, itu comfort zone. Segera, buat target baru, cita-cita yang berbeda atau mimpi yang menantang. Susun strategi dengan pendekatan yang lebih “berani”, dengan tenggat waktu yang lebih singkat, sumber daya yang lebih terbatas, dan ongkos yang lebih murah. Comfort zone akan terusik dan anxiety akan lahir kembali. Biasanya, kemudian, membuahkan prestasi.
Comfort zone menghalangi mimpi. Mengangan-angankan sesuatu yang lebih indah dan lebih mulia. Padahal, mimpi adalah bayangan yang kreatif. Namun, Comfort zone harus ditinggalkan untuk memaksakan diri nyaman dengan sesuatu yang tidak biasa bahkan tidak diketahui.
“A dream is your creative vision for your life in the future. You must break out of your current comfort zone and become comfortable with the unfamiliar and the unknown”. (Denis Waitley – American writer)
PM. Susbandono said:
PK.
Hanya 3 film India yang saya tonton. Pertama adalah “My Name is Khan”. Yang kedua, “3 Idiots”, dan yang terakhir, “PK”. Kebetulan ketiganya bagus, jauh dari tontonan drama percintaan India, yang biasa diwarnai tari-menari dan menyanyi, sambil kadang-kadang ngumpet di belakang tiang atau pohon besar.
Sama dengan 2 yang pertama, PK adalah film yang luarbiasa. Saya memberi nilai “sangat bagus”. Meski penuh tawa, saya dipaksa berpikir, terutama tentang hubungan manusia dengan Penciptanya, komunikasi yang terjalin dan posisiNya dalam hidup saya. Itulah mengapa PK saya sebut kisah yang komplet.
PK adalah film drama komedi, tentang seorang(?) alien yang datang dari luar angkasa untuk melakukan penelitian di bumi. Celakanya, remote control yang dikalungkan di lehernya, yang harus digunakan untuk memanggil pesawat luar angkasa, bila tugas sudah selesai, dicuri “makhluk bumi”, yang disebut manusia. Sesaat setelah tiba di sebuah dataran antah berantah, yang bisa jadi, di India sana, sang alien langsung mendapat musibah.
Tanpa alat itu, dia menjadi luntang-lantung, tak jelas juntrungannya, entah mau apa. Tugas meneliti kacau balau, sementara kemungkinan kembali ke “rumah”-nya, nun jauh di sana, tertutup sudah. Dia menjadi gelandangan, yang harus belajar bagaimana bergaul dangan manusia, penghuni bumi yang “aneh”, tentunya versi makhluk luar angkasa.
Jalannya terhuyung-huyung, perilakunya gamang, bahkan saat-saat pertama, dia tak bisa bicara dan tak berbaju. Orang menamakannya “Pee-Kay”, kemudian disingkat PK, bahasa Hindi yang berarti limbung. Singkatnya, PK menjadi “orang aneh” di kalangan manusia “normal” di bumi ini.
Bagi PK, percakapan bumi tak dimengerti. Penutup badan, menjadi sesuatu yang menggelikan, dan yang paling mengherankan, cara berpikir manusia sungguh tak dapat diterima akal-sehatnya.
Wajar, kalau PK berpikir demikian. Bayangkan saja, ada orang yang tiba-tiba dewasa, tanpa melalui proses pertumbuhan dan pemahaman seperti yang dilalui manusia “normal” lainnya. “Hum bahut hi confusiya gaya hoon”. Saya sungguh bingung dengan semua ini. Atau, rasa kesalnya, saat “alat sakti”, yang sangat penting, dicuri orang. “Humra gola par log jhoot nahi bolta hai”. Orang di planetku tak ada yang berbohong (dan mencuri).
Selain baju didapat dari mencuri milik pasangan yang sedang bercinta di dalam mobil, bahasa manusia akhirnya bisa dikuasai. Semua usaha itu dilakukannya agar bertahan hidup. PK yang mempunyai kehebatan berkomunikasi dengan hanya berpegangan tangan, lambat laun menjadi manusia bumi seperti kita. Tentunya dengan pemahaman “budaya” manusia yang terbatas.
Meski terkesan dipaksakan, ada anak-cerita yang membawa penonton hanyut dalam luapan emosi yang mengharukan. PK masih film India. Kisah percintaan antara Jaggu, si cantik jelita dari Delhi, beragama Hindu, dengan Sarfaraz, pemuda tampan asal Pakistan, Muslim, akhirnya harus putus karena beda bangsa dan agama. (Meski akhirnya nyambung kembali di akhir cerita)
Kisah cinta yang indah dengan setting kota Brussels yang romantis, membuat kisah putus cinta semakin dramatis. Jaggu patah hati dan pulang kampung. Kemudian bertemu PK dan menjadi kawan curhat. Pertemanan yang malahan menjadi pintu masuk bagaimana pesan dari film ini ingin disampaikan kepada penonton. Persahabatan yang menguak siapa sebenarnya PK dan konflik yang dialami saat berada di bumi yang “aneh” ini. Dari sinilah kemudian spirit dari film ini mulai dapat diikuti dan enak ditonton.
Saat mengeluh soal remote-nya yang hilang, PK mendapat banyak petuah. Isinya mirip. “Berbicaralah kepada Tuhan, hanya Dia yang dapat menolong kamu”. Dan berbicara dengan Tuhan, hanya bisa melalui “agama”. Dan dalam agama, “pemimpin umat” menjadi kunci yang sangat menentukan.
PK kena batunya, karena pemahaman-pemahaman yang kontradiktif dari agama-(agama) membuat dia semakin bingung. Bagi PK, ternyata semua itu tidak menyelesaikan masalah, mereka malah memperkeruh. Hebatnya, PK menyajikan adegan-adegan lucu, orisinil dan tidak membodohi. Dialognya cerdas, langsung menusuk kalbu. Menuntut penonton berpikir keras. Lucu tapi berkelas, perlu berpikir sebentar, sebelum bisa tertawa lepas. Beberapa malah terkesan satire bagi praktek-praktek agama. PK menjuluki mereka “call the wrong number”. Menyindir para pemuka umat yang sering keluar dengan pernyataan-pernyataan yang tak masuk akal dan menjadi saluran yang keliru. Wajar, PK baru mengenal agama-agama dalam waktu singkat dan seketika.
Tujuan PK hanya satu. Menemukan kalungnya, yang dicuri oleh makhluk jahat dari bumi, agar dia kembali ke rumahnya. PK “terperosok”, karena orang mengenalkan pada “cara menemukan kalung”, melalui “call the wrong number”. Jalan itu banyak, dengan jalur yang berbeda. Beberapa diantaranya malah berlawanan. Simak salah satu kalimatnya yang bernada bingung. “Yang satu dilarang membunuh sapi, yang lain malah menyuruh”. Jelas suatu ekspresi ketak-tahuan yang sah, yang mungkin juga dimiliki banyak (sekali) manusia, karena pemahamannya yang instan.
Masih banyak konflik akal sehat yang ditangkap PK. Mengharukan, ketika dia bingung karena tak menemukan tanda, bagaimana seseorang kok bisa mengaku beragama tertentu, sementara orang lain beragama lain. “Who is Hindu, who is Muslim…..show me where is the stamp….You guys have made this difference and not God….and this is the most dangerous wrong number of this planet”.
Atau, “perintah” membangun kuil (pengertiannya meluas ke rumah-rumah ibadah lainnya) agar tambah kaya, sementara banyak sesame yang hidup menderita. Wanita tak boleh sekolah. Memuja batu dengan bunga dan olesan cairan berwarna agar lulus ujian. Niat baik PK membawakan wine untuk minuman Tuhan, malah membuahkan kecaman. PK dikejar-kejar hendak dibunuh karena dianggap menghujat.
Masih banyak sindiran-sindiran PK yang memaksa “makhluk bumi” untuk introspeksi karena menempatkan kepentingan dirinya, di atas Tuhan dan sesama. PK yang lugu, naif dan lurus-lurus saja, pantas menjadi common enemy, dan beberapa kali nyaris dihakimi masa.
Untung, film yang bernada cynical ini dikemas dengan selimut humor yang tinggi. “The communication system of this planet for talking to God, has become totally useless”. PK melihat usahanya menghubungi Tuhan, selalu gagal. Dengan menggunakan istilah “sistem komunikasi” yang katanya semakin canggih, PK menyindir bahwa “Kehebatanmu tak ada apa-apanya”. PK melihat dengan kacamata lain, karena justru “sistem” ini tidak jalan saat dibutuhkan. Kalungnya tak juga diketemukan.
Sepanjang 156 menit, penonton dibuat tertawa, kadang terharu, sambil sekali-kali tersenyum kecut, karena peluru membalik menghantam diri kita sendiri, langsung menuju tengah-tengah ulu hati. Tak perlu marah dengan sindiran halus ini, karena sebagian besar nyata. Yang harus keluar justru rasa malu dan buru-buru merenung agar timbul insight yang keluar dari dalam sana.
Satu untaian kalimat yang diucapkan PK, melekat dalam hati dan saya ingat sampai sekarang. Rasa penyesalan tiba-tiba muncul, karena itu memang mengenai “saya banget”. Mungkin juga “kita banget”.
“Akhirnya, saya tahu bahwa Tuhan ada dua. Pertama, Tuhan yang menciptakan kita. Kedua, tuhan yang kita ciptakan. Manusia lebih sering berhubungan dengan yang kedua. This is a call the wrong number”.
JDD said:
`WRONG NUMBER’…
Akhirnya, keturutan juga bisa menonton videonya secara full.
Ampuuun durasinyaa panjang banget, kalau nggak 3 jam lebih mungkin bukan pilem India ngkali ya 😀 …
Two thumb up!
PM. Susbandono said:
Dua minggu lalu, saya pulang kampung ke Semarang. Kali ini saya kesripahan*/. Kakak ipar meninggal dunia, dalam usia 64 tahun. Nama lengkapnya H. Mulyono Hardo Atmojo, biasa dipanggil pak Mul. Almarhum menderita sakit, “hanya” 2 bulan, dan akhirnya berpulang. Kembali ke hadirat Allah SWT, tugasnya di dunia sudah usai.
Ada 3 episode yang ingin saya ceritakan tentang perjalanan ke Semarang kali itu. Pertama, “keanehan” yang saya lihat di bandara. Kedua, prosesi mengantar pak Mul ke Rumahnya yang baru. Dan, proses menuju “kematian” yang dipastikan terjadi pada setiap manusia. Agar colorful, kisah akan diwarnai latar belakang kota Semarang. Yang terakhir ini biasa dinamakan “Semarangan”.
Rabu sore saya mendarat di bandara A. Yani Semarang. Bukan akhir pekan, bukan hari libur sekolah. Hari biasa saja, dan Semarang bukan kota istimewa. Bukan kota wisata seperti Yogya atau Denpasar. Bukan kota bisnis atau industri, seperti Surabaya, Medan atau Makasar. Saya ingin mulai dengan rasa heran yang muncul ketika masuk terminal kedatangan.
Terminal penuh sesak. Mirip pasar Tanah Abang menjelang Lebaran. Petugas bandara yang membantu membawa barang bawaan penumpang, tak nampak. Semua sedang sibuk. Taxi bandara, baik meter mau pun jam-jaman juga kosong. Saya memutuskan untuk istirahat di Rumah Makan Padang di luar terminal.
Itu pun tak mudah. Kursi RM penuh. Saya harus menunggu sekitar setengah jam, sebelum mendapat kursi, yang harus berbagi meja dengan pelanggan lain. Lengkap sudah hiruk-pikuk bandara A Yani sore itu, yang bisa menjadi tanda bahwa roda ekonomi sedang berputar gencar.
Dua puluh enam penerbangan Jakarta-Semarang, kali dua, pulang-pergi, selalu nyaris fully book, setiap hari. Belum rute ke kota-kota lainnya yang hilir mudik, hampir setiap seperempat jam. Domestik dan internasional. Saya tak kuasa menerangkan gejala apa yang terjadi.
Nilai rupiah melemah, harga BBM naik. Harga beras tak kunjung turun. Subsidi listrik dipotong. Jalan tol sebentar lagi kena pajak. Di banyak media dan obrolan omong-kosong, konon, hidup rakyat kecil sedang tercekik. Tapi, tak kurang porter bandara Semarang menjadi langka, mereka malah panen raya.
Masih ada lagi, sopir taxi, pelayan RM dan banyak pelaku ekonomi kecil lainnya tersenggol multiplier effect ini. Suatu anomali ekonomi dan sosial. Saya bukan ahlinya, jadi, tak mampu menerangkan, mengapa itu terjadi.
Bakda magrib, baru sampai di rumah duka. Jenazah pak Mul terbaring di sana. Terbujur dengan wajah tenang, ikhlas, penuh kedamaian. Sedang ada sholat jenazah dan tahlilan dari kelompok jemaat Mesjid di sekitar sana. Katanya, itu bukan rombongan pertama, namun ketiga. Masih ada 4 atau 5 grup lain yang melakukan upacara serupa. Bergantian berdoa untuk almarhum pak Mul. Tuhan mendengarkan mereka dari atas sana. Pak Mul sedang tersenyum bahagia. Sedang berada dalam dekapanNya.
Hari Kamis, keesokan harinya. Pagi-pagi benar, rombongan Jemaah dari mesjid-mesjid yang berbeda bergantian mendaraskan doa. Saya tak sempat menghitung jumlahnya. Tapi, tak kurang dari 5 kelompok. Sholat jenazah terdengar bergantian. Membaca tahlil dan zikir. Iramanya ritmis, menyayat hati, membuat merinding, apalagi jika membayangkan sosok pak Mul. Seorang yang biasa-biasa saja. Bukan pemimpin, bukan pejabat, bukan politikus, bukan artis, bukan selebriti, bukan pula cerdik cendekia. Almarhum seorang pengusaha menengah saja. Sering berkunjung dan sholat di masjid-mesjid sekitar. Membuatnya dikenal baik oleh jemaat di sana. Kawannya banyak, pergaulannya luas, kemana-mana, sederhana, low profile. Semarang mengenal sosoknya dengan sangat saksama.
Di lantai 2, kelompok lain juga berdoa dengan cara berbeda. Yang ini dipimpin seorang Pastur Katolik, romo paroki dari gereja terdekat. Yang sempat saya lihat, 3 imam ada di sana. Beberapa suster biarawati ada diantaranya. Mereka mendaraskan doa Rosario dan “Litani Orang-Orang Kudus”. Tak saling mendengar, tak saling adu keras, tak saling ingin menang. Semua khusuk dalam hatinya masing-masing. Tujuannya satu, sama, yaitu Sang Khalik, Sang Pemelihara, Sang Pengasih. Caranya berbeda, dan Pak Mul tetap tersenyum, ikut melafalkan zikir dan tahlil di lantai bawah, kadang-kadang nimbrung dengan ucapan “Amin”, dari doa di lantai atas. Semua menjadi satu, dalam kedamaian Ilahi yang abadi.
Kematian adalah suatu misteri. Tak ada seseorang pun yang tahu rahasia ini. Semuanya milik Dia. Manusia tak tahu apa-apa, termasuk pak Mul. Juga keluarganya, isterinya, anaknya, cucunya, adiknya, eyangnya, pakliknya, buliknya, keponakannya. Mereka sedih, kadang menangis. Tak mengerti tentang yang satu ini. Hanya bisa diam, merenung, memohon agar pak Mul damai dalam istirahatnya. Tuhan pasti menjawab doa mereka.
Tahap terakhir dari proses menuju kematian adalah “menerima”, pasrah, ikhlas, sumeleh. Itu satu-satunya sikap iman yang benar dalam menghadapi hari akhir. Sebelumnya ada tahap-tahap yang dilalui berurutan, yaitu menyangkal (denial), konflik dan negosiasi. Itu dirasakan baik oleh pak Mul mau pun keluarga yang mendampinginya mulai saat sakit.
Menerima bukan suatu tanda menyerah, bukan bentuk kalah, apalagi salah. Bukan menyerah kepada penyakit, tetapi memenuhi panggilan yang Empunya. Ia menjadi tanda perdamaian. Damai dengan dengan diri sendiri, damai dengan sesama, damai dengan Tuhan. Semakin cepat tahap akhir ini dicapai, semakin cepat pula kedamaian terwujud. Itu sebuah proses yang ujung-ujungnya bermuara pada Sang Maha Kuasa. Pada titik ini, manusia tak mampu berbuat apa-apa. Hanya bisa diam saja.
Menjelang siang, pak Mul dimakamkan. Di utara kuburnya ada kedua orang tuanya. Tak jauh dari situ makam bapak dan ibu mertuanya. Mereka berdekatan, bahkan sangat dekat, tak lebih dari 15 meter. Saya tak tahu apakah mereka saling bertegur sapa. Kalau pun ya, tentu berbeda dengan apa yang kita lakukan di dunia. Kita telah berpisah dengan mereka, para almarhum di makam Bergota Semarang, dan kita bisa dimana-mana. Yang menyatukan hanya iman kita.
Dulu, pak Mul hanya sekrup kecil dari roda ekonomi yang sedang berputar. Mungkin, senang mendengar kabar bahwa nilai dolar melonjak-lonjak. Ini karena produk pabriknya dijual ekspor, sementara expenses-nya banyak dalam rupiah. Kini, pak Mul tak perlu memikirkan lagi merosotnya nilai rupiah. Tak juga memahami mengapa bandara Semarang selalu sesak, meski di hari-hari tengah minggu. Pak Mul sudah berangkat ke hadapanNya. Itu bagian dari proses hidup, yang juga dijalani oleh semua orang. Ia bukan akhir dari segalanya.
“Dengan kematian, hidup tidak musna, hanya berubah”.
“Selamat jalan, pak Mul. Sampai jumpa lagi”.
sabdadewi said:
Sugeng sore pak Sus,
Tumut nandang ‘duko-cito’ ingkang tilaripun kangmas ipar njenengan…
Duko kagem tiyang ingkang dipun tilar, lan Cito kagem tiyang ingkang mlampah ten alam kalengganan.
Ayu hayu rahayu…
PM. Susbandono said:
Genteng
Kebanyakan genteng berwarna merah atau cokelat. Kalau ada anak SD menggambar rumah dengan genteng berwarna hijau atau biru, itu suatu kekeliruan. Nilainya harus dikurangi, tak peduli apakah lukisannya cukup artistik atau tidak. Genteng sudah punya warna tertentu, dan murid tak boleh menggantinya dengan warna berbeda. Itu disebut paradigma, yang biasanya ada di dalam otak sang guru. Istilah lain adalah mindset, pola pikir atau cara pandang.
Dalam diri seseorang, tertumpuk bermacam-macam mindset. Tentang berbagai subyek, dengan nuansa yang berbeda. Sering tertancap di alam bawah sadar dengan sangat melekat. Kemudian muncul sikap bahkan perilaku yang mengharamkan perbedaan dari apa yang tertancap di pikiran kita. Paradigma mendominasi kehidupan seseorang, kadang sengaja, sering tidak.
Kalau kebetulan yang tersimpan adalah paradigma positif, kemampuan diri mudah dikembangkan. Sebaliknya, ia justru akan membunuh potensi positif yang sebetulnya banyak berserakan dalam diri seseorang.
Pengetahuan mengenai paradigma atau mindset ditemukan seorang ahli Psikologi dari Stanford University, bernama Carol Dweck. Dia meneliti tentang aspek yang mempengaruhi seseorang untuk meraih pencapaian dan keberhasilan. Sesuatu yang mengukir perbedaan cara pandang.
Kecerdasan dan bakat dulu dianggap sesuatu yang ‘given’ dan tak bisa berubah atau berkembang. Ia disebut sebagai ‘mindset tetap’. Itu dianggap sudah menjadi ciri seseorang yang, apa boleh buat, tak bisa diubah lagi. Didi Nini Towok adalah penari yang dilahirkan. Buktinya, tanpa guru dan belajar yang nggenah, bisa menjadi penari terkenal dan melanglang buana kemana-mana. Karena Didi tak pernah mengenyam pendidikan formal dan jauh dari pengaruh luar, maka menari dianggap sebagai satu-satunya pemberian Tuhan yang begitu saja ada dalam dirinya.
Orang mengira, karena Didi sangat berbakat, maka tanpa usaha dan kerja keras, dia bisa menjadi artis terkenal seperti saat ini. Ini pendapat yang salah. Didi banting tulang untuk mewujudkan bakatnya menjadi ‘sesuatu banget’. Selain itu, bisa jadi Didi punya ‘harta’ lain yang bila diasah terus, akan menjadi berlian yang lain. Siapa tahu, Didi juga punya kecerdasan lain hingga mungkin saja menjadi ahli matematika atau olahragawan handal, sekaligus jagoan menari. Sekali lagi, pemikiran seperti itu disebut sebagai fixed mindset.
Orang yang menganut paham ‘growth mindset’, berpendapat bahwa kepandaian dasar harus dikembangkan dengan dedikasi total dan usaha yang tak kenal lelah. Percuma saja seseorang mempunyai bakat kental, bila tak disertai usaha pengembangan yang terus menerus. Dia akan frustasi dan akhirnya berpelukan dengan kegagalan. Paham ini menggaris bawahi pentingnya cinta akan proses belajar dan sikap tahan banting, hingga melahirkan pencapaian yang luar biasa. Tak terbantahkan, semua orang hebat dunia berada di kelompok ini. Rudy hartono adalah salah satu contoh yang dekat dan nyata.
Mindset yang lain bisa mengakibatkan sesuatu yang luar biasa. Cara yang dimiliki seseorang dalam menangkap dan memahami sesuatu yang terjadi di sekelilingnya, dengan kacamata hitam lagi buram. Begitu hebatnya mindset ini, maka ia bisa membuat celaka manusia yang memilikinya. Tak heran jika kemudian disebut deadly mindset. Pola pikir yang negatif, biasanya kontra produktif, destruktif dan yang pasti, menghambat pelaku untuk berkembang menjadi lebih baik. Disadari bahwa banyak deadly mindset yang sangat sulit untuk diubah. Ia memerlukan tenaga yang sangat besar untuk melakukannya.
Ketakutan, ketidak yakinan, kurang PD, pesimisme , prasangka buruk, negative stigma atau negative thinking adalah deadly mindset yang jauh lebih menghambat kemajuan seseorang dibanding hanya sekedar kekurang-pintaran otak atau ketidak-lengkapan anggota tubuh. Nick Vujicic, motivator kondang asal Australia, yang tak berlengan dan tak bertungkai, mengatakan : “Fear is a bigger disability than having no arms or legs”.
Chris Langan, laki-laki tampan asal Amerika, yang mempunyai IQ = 195 dan di catat sebagai manusia dengan IQ tertinggi di dunia, ternyata hanya menjadi manusia yang biasa-biasa saja. Kehebatan IQ-nya dikubur dalam-dalam oleh deadly mindset yang terlanjur tertanam dalam otaknya karena dia berasal dari broken home yang membawa sial dan akan terbawa hingga ke liang kubur. Paradigma itu menyertai hidupnya, menjadi batu sandungan setiap kesempatan baik terbentang di depan batang hidungnya.
Beberapa orang mengatakan bahwa Chris adalah manusia sial. Sejatinya bukan itu. Chris memendam mindset yang mematikan. Deadly mindset memang harus diidentifikasi, bila ada di dalam diri kita, harus digeser pelan-pelan untuk selanjutnya dikeluarkan dari alam pikiran bawah atau atas sadar.
Shifting paradigm bukan sesuatu yang sederhana, meski bukan berarti tak bisa dilakukan. Thomas Alva Edison jauh dari genius, tetapi berhasil membuat pergeseran paradigma dengan kemauan dan kerja kerasnya. Dia bahkan sampai membuat dirinya seperti orang gila, dengan mengerami telur ayam, disertai keingin tahuan apakah setiap jenis panas bisa membuat telur ayam menetas. Akhirnya, Edison mencatatkan dirinya sebagai penemu terbesar dunia dengan lebih dari 3.000 penemuan brilyan, termasuk diantaranya bola lampu listrik.
Genteng tidak selalu merah. Didi Nini Towok tidak hanya penari luar biasa. Chris Langan bukan orang sial, karena manusia tidak diciptakan untuk bernasib buruk. Thomas Alva Edison yang tak pintar menjadi penemu terbesar dunia. Semuanya membuktikan bahwa fixed mindset dan deadly mindset harus terus menerus diusahakan untuk dienyahkan. Growth mindset harus dipupuk menjadi buah yang ranum dan siap dipetik. Syaratnya hanya 2. Pertama, perubahan paradigma tak mungkin terjadi tanpa usaha keras dari pemiliknya. Kedua, pemilik paradigma harus berani menjadi agen perubahan yang utama dan pertama. Bila dirasa tak mampu, libatkan pihak ketiga untuk mendampinginya.
“Football is football and talent is talent. But the mindset of your team makes all the difference”. (Robert Griffin III – Atlet terkenal Amerika, usia 25 tahun)
PM. Susbandono said:
Renungan akhir minggu.
SEHAT
Ada ungkapan yang membingungkan untuk dicerna. ‘Sakit itu mahal’. Apa benar? Atau, apakah bila seseorang sakit, harus mengeluarkan biaya tinggi, agar sehat? Mungkin ini yang lebih pas untuk menjelaskan ungkapan itu. Kalau begitu, ia mesti diubah menjadi, ‘Sehat itu mahal’. Kita perlu banyak mengeluarkan ‘biaya’, atau ‘usaha’, atau ‘perhatian’, atau ‘disiplin’, atau ‘pengorbanan’ agar (tetap) sehat atau menjadi sehat, bila sedang sakit. ‘Jer waras mawa bea’. (Untuk sehat memerlukan pengorbanan).
Semua orang tak kepingin sakit. Semua orang ingin sehat. Tapi aneh, banyak orang tak mencerminkan keinginannya dalam pola hidupnya sehari-hari. Manifestasinya tak terlihat. Orang cenderung berperilaku menuju sakit ketimbang menjadi sehat. Life style-nya tak menunjukkan bahwa dia ingin sehat. Meski tahu bahwa itu bertentangan dengan keinginannya, tak juga mau berubah agar ‘cita-cita’-nya, bisa terwujud. Ingin sehat, tapi perilakunya sebaliknya.
Anomali terjadi karena ketak-sadaran bahwa kesehatan itu tanggung jawab masing-masing pemilik badan. Selalu sehat adalah tugas masing-masing individu. Bukan tugas orang lain. Bukan orang tua, pasangan, atasan, teman atau, apalagi, dokter. Rasanya, kewajiban menjaga kesehatan ada pada setiap agama. Ibadah, yang harus dipikul semua insan. Sekali lagi, ibadah yang satu ini tak banyak terlihat pada kebanyakan orang.
Hidup sehat tidak mudah, apalagi bila lingkungan tidak mendukung. Sehat, tidak cukup menjadi suatu keinginan, tapi yang lebih penting, harus menjadi budaya. Sehat tidak akan awet. Tapi, kalau itu menjadi kebiasaan, bagian dari pola-hidup, maka ‘sehat’ bukan sesuatu yang mahal, tidak sulit dan ikut dalam setiap tarikan nafas manusia. Ia menjadi mahal, bila ‘budaya sehat’ belum terbentuk, atau bila sakit sudah kadung menyerang.
Teori sehat jauh lebih sederhana dibanding ilmu tentang sakit. Bila belajar ilmu penyakit perlu kuliah 6 tahun di Fakultas Kedokteran, plus sekian tahun praktek lapangan. Teori sehat jauh lebih mudah. Rasakan tubuh anda. Pahami bagaimana badan anda. Ikuti perasaan. ‘Understand you body’. Pahami tubuh anda. Ia memberitahu pemiliknya, apa yang harus dilakukan agar sehat.
Kurang makan, tubuh memberitahu dengan rasa lapar. Kurang minum dengan haus. Kurang tidur, akan mengantuk. Itu contoh tanda-tanda bagaimana tubuh memberitahu pemiliknya untuk tetap sehat. Sederhana sekali, asal mau sensitif dan jujur untuk menangkap tanda-tanda itu. Bila tanda itu diabaikan, maka tubuh berbalik arah menuju ‘tak sehat’. Lama-lama menjadi sakit. Pengabaian atau bahkan mungkin penolakan tanda yang keluar dari dalam tubuh, merupakan isyarat bahwa ‘budaya sehat’ belum ada dalam diri anda. Kalau pun saat ini masih sehat, pasti tak akan lama.
Meski sederhana, pengetahuan tentang sakit lebih banyak digemari orang daripada sehat. Dokter lebih suka menyembuhkan orang sakit daripada membuat orang menjadi tidak sakit dan sehat. Ada faktor komersial dan kekuatan industri yang bermain di sana. Sebagian malah tidak sengaja, kalau sudah berada di jalur yang keliru. Jangan hanya salahkan orang yang mempunyai paradigma terbalik-balik tentang ‘sehat-sakit’. Itu produk dari masyarakat, meski sejatinya bisa dilawan.
Banyak perusahaan mempunyai dokter perusahaan agar pekerjanya ‘sembuh’ dari sakit. Sangat sedikit perhatian, dana, dan waktu yang dicurahkan untuk membuat pekerja tetap sehat dan tambah sehat. Infrastruktur yang melingkupinya juga mendukung mindset ini. Contoh nyata adalah aturan yang memberi ‘reward’ bagi pekerja yang sakit, tapi tidak untuk yang sehat. Undang-undang pun seolah meng-iya-kan paradigma ini. Budaya sehat tak akan lahir di komunitas seperti itu, karena sistem akan melahirkan budaya. Tanpa sistem, tak akan lahir budaya. System creates culture.
Di ranah ilmu-jiwa, Seligman merombak paradigma ini. Dia mengenalkan pendekatan Positive Psychology. Jangan terpaku dengan ‘penyakit’. Semakin menyehatkan orang sehat, akan ‘mengangkat’ orang sakit menjadi lebih sehat. Fokus mengembangkan orang pintar, membuat mereka yang kurang pintar menjadi lebih pintar. Tugas Dokter dan Psikolog bukan hanya menyembuhkan si sakit tapi harus lebih banyak pada lebih menyehatkan si sehat. Diharapkan yang sakit akan sehat dan yang sehat menjadi lebih sehat.
Seligman mengantarkan pendekatan baru, dengan paradigma positif. Secara tak langsung, dia melakukan pendekatan budaya, agar seluruh komunitas yang diamati berada pada level yang selalu naik, terus meningkat.
Atasan jangan terlalu banyak membuang perhatian dan waktunya kepada si dead wood. Mending lebih fokus kepada talented employees. Usahakan agar lebih berprestasi dan berkontribusi. Insya Allah, Puji Tuhan, para low contributor, secara bertahap, akan meningkat kemampuannya. Mereka terseret arus positif yang bergulir ke atas.
Menjadi manusia sehat banyak kelebihannya. Suatu merek jamu di Semarang pernah mempunyai jargon tentang apa yang terjadi bila banyak orang sehat. “Rakyat sehat – Negara kuat”. Sehat dulu, baru prestasi. Sehat dulu, baru produktif. Sehat dulu, baru memberi. Sehat dulu, baru berbuat baik. ‘Mens sana in corpore sano’. Tanpa sehat, orang tak bisa apa-apa.
Sehat memerlukan prasyarat. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi sehat. Jangan menunda upaya untuk sehat. Lakukan sekarang juga, karena esok hari adalah penyakit itu sendiri.
“When it comes to eating right and exercising, there is no ‘I’ll start tomorrow’. Tomorrow is disease” (V.L. Allineare)
sabdadewi said:
Wilujeng enjang pak Sus,
‘Jer Waras Mawa Bea’… that`s makes sense actually ^_*…
Hope someday in our country there will be no longer ‘slogan’ like above 🙂 …
PM. Susbandono said:
Arete – Renungan akhir Minggu
Tak tahu bagaimana, saya tiba-tiba menemukan dan tertarik dengan kata ini. Bukan Bahasa Inggris, bukan pula Bahasa Indonesia, apalagi Jawa. Ia berasal dari Bahasa Yunani, mungkin malah Yunani kuno, yang sekarang tak dipakai lagi. Lantas apa istimewanya? Marilah kita telusuri pelan-pelan.
Benar, ‘arete’ adalah kosa kata Yunani. Artinya bergeser dari waktu ke waktu, sesuai kebutuhan masyarakatnya. Awalnya, ia berarti ‘kesempurnaan’. Segala sesuatu yang hebat, yang luar biasa atau yang istimewa. Kemudian berubah menjadi pemahaman yang lebih filosofis, yaitu suatu ‘kebajikan moral’. Kemudian berubah-ubah menjadi ‘keberanian’, ‘keefektifan’, dan ‘kesuksesan’.
Plato mengartikannya untuk sesuatu yang diasosiasikan dengan moral excellence. Moral yang mulia dengan kombinasi kegagah-beranian, kesederhanaan dan keadilan.
Sulit, bila beberapa makna tadi hendak disimpulkan dengan satu kata untuk menerjemahkan ‘arete’. Tapi, izinkanlah saya menggunakan opini untuk mengartikannya dengan bebas, berdasar pemahaman yang saya peroleh. Hampir pasti, hasilnya tidak terlalu tepat. Tapi, biarlah menjadi referensi untuk keperluan kali ini saja. Moga-moga anda menangkap apa yang saya maksud.
‘Arete’ adalah ‘kesuksesan’ yang diraih, karena seseorang memiliki ‘kebajikan moral’. Kesuksesan yang dicapai karena ‘berani’ menantang hidup, ‘efektif’ dalam meraih tujuan, menjalani peran yang diberikan dengan ikhlas, hingga menuju ke kesempurnaan hidup. ‘Arete’ adalah kesuksesan yang seimbang antara ekstrinsik dan intrinsik, kesuksesan seutuhnya, luar-dalam, bukan hanya ‘kesuksesan’ yang ditangkap panca indera belaka. ‘Arete’ adalah kesuksesan hidup sejatinya yang memancar dari dalam tanpa mengingkari kesan tampak luar.
Paling tidak ada 2 tokoh yang menasehatkan, bagaimana ‘kesuksesan’ seperti itu dapat didekati. Pertama, Dale Harbison Carnegie (1888-1955), seorang penulis, pelatih dan guru dalam ranah self-improvement, salesmanship, corporate training, public speaking, and interpersonal skills.
“You never achieve success, unless you like what you are doing”. Dale menambahkan bahwa ‘sukses’ diraih bila kita mengerjakan sesuatu, tidak hanya dengan tangan, kaki dan, atau seluruh anggota tubuh saja, melainkan juga dengan spirit dan perasaan yang menyertainya. Pekerjaan menjadi media untuk mengungkapkan totalitas dalam diri kita. Itu yang disebut ‘Arete’, bila body, mind dan soul menyatu dan mewujud dalam aktivitas sehari-hari, terutama saat menggeluti peran yang sedang dilakoni di dunia ini.
Tokoh kedua adalah Steve Jobs (1955-2011), pengusaha, inventor , Chairman dan CEO dari Apple Inc. Ungkapan Jobs yang terkenal adalah : “Love what you do, do what you love”. Substansinya sama, pesannya mirip, hanya kemasannya sedikit berbeda. Namun Jobs sepakat dengan Dale bahwa pekerjaan harus digeluti dengan seluruh jiwa-raga yang ada. Dari situ ‘arete’ akan terwujud.
Mudah mengutip pepatah inspiratif seperti di atas, namun susah menemukan contoh bagaimana ‘arete’ ada dalam dunia nyata. Sampai kemudian saya membaca artikel di Kompas Minggu, 26 April 2015, mengenai liku-liku anak wayang dari ‘Wayang Orang Bharata’, Jakarta.
Kehidupan anak wayang Bharata sulit dipahami oleh ‘orang normal’ seperti saya, melainkan harus diterjemahkan melalui pesan yang dikirim oleh Dale Carnegie atau Steve Jobs. Mereka, hidup dalam kekurangan materi, namun tetap memenuhi panggilan jiwa untuk mengabdikan seluruh hidupnya pada profesinya, seni tari. Mereka tak kehilangan untuk tetap menikmati hidupnya.
Bharata, yang hanya tampil seminggu sekali, setiap Sabtu malam, di daerah Kalilio, Senen, disaksikan oleh sekitar 200 penonton. Harga tiket rata-rata lima puluh ribu rupiah. Bayangkan, sepuluh juta rupiah dibagi kepada tak kurang dari 100 anggota Perkumpulan, namun mereka loyal tetap memelihara panggung kesenian tradisional.
Bayangkan, sebagian besar dari mereka tinggal di aula tua yang semula dimaksud untuk tempat latihan, dihuni oleh 32 kepala keluarga lengkap dengan anak-cucu yang entah bagaimana bisa ikut larut dalam dunia wayang yang jauh dari kemewahan dunia.
Karena penghasilan yang minim, hanya orang-orang yang benar-benar cinta dan mengabdikan seluruh jiwa-raganya kepada profesinya, bisa bertahan. Suatu drama di luar panggung yang aneh tapi nyata, menyedihkan tapi terjadi, mengharukan tapi membanggakan.
Salah satu pemain Bharata yang bisa menjadi teladan kesetiaan total, adalah Marsam Mulyoatmaja. Dalam perjalanan kariernya, dia pernah didapuk berbagai peran; tentara, raksasa, pangeran, raja, pendeta dan kini sebagai Bagong.
Sempat ‘desersi’ menjadi anak kapal dengan penghasilan yang berlipat-lipat, tapi Marsam tak betah juga. “Seminggu saja engga dengar gamelan, rasanya engga kuat. Begitu turun dari kapal lalu dengar gamelan dari radio, saya nangis. Seandainya mati pun, saya ingin di panggung”. Marsam lantas balik ke dunianya yang lebih kusam, tapi itulah kodratnya.
Totalitas Marsam cukup mencengangkan, tapi kisah temannya, Chrisna Aji Rukmana, dan bapaknya, Dono Subekti, tak kalah membuat decak kagum bagi yang mendengar. Chrisna adalah turunan ketujuh yang memerankan Cakil. Enam ‘eselon’ di atasnya juga pemain Cakil. Sulit dimengerti, bagaimana Dono dan Chandra bisa mengikuti peran kakek-moyangnya sebagai pemain wayang orang memerankan tokoh yang sama, Cakil. Tapi, begitulah ketika sebuah peran diyakini, ketika tradisi diunggulkan, ketika kesetiaan menjadi pegangan, ketika ‘arete’ digenggam erat-erat. Mereka menyukai apa yang dikerjakan, mencinta apa yang dilakukan, mengikuti nasehat Dale dan Jobs untuk meraih ‘sukses’.
Kesetiaan kepada pekerjaan dan profesi seperti Marsam, Chandra, Dono dan banyak lagi pelaku seni sejenis, tak pernah diamati oleh Dale Garnegie dan Steve Jobs, ketika mereka merumuskan pendapatnya. Marsam, Chandra dan Dono, juga tak tahu, siapa Dale dan Jobs. Tetapi, mereka pantas menjadi alat peraga bagi saya, anda dan kita semua bahwa sukses seutuhnya, ‘arete’, dan kemudian kebahagiaan hidup yang sejati, hanya bisa diraih bila kita melakoni hidup, siapa pun anda, dengan totalitas yang paripurna.
Saya usul untuk mengakhiri artikel ini dengan merenung pernyataan Kies Slamet, juga anak wayang Bharata yang sudah senior (75 tahun), dan pernah menjadi pimpinan grup ini. “(Di Bharata), saya mendapat banyak hal yang tidak bisa dirupiahkan. Kenangan yang ngga akan saya lepas. Jangan hanya bisa (memainkan peran wayang), tapi harus (ikhlas) melebur (dengan) karakter (seutuhnya)”.
PM. Susbandono said:
Norwegia
Jalan Ciputat Raya di sore hari. Tersenyum masam membaca tulisan di belakang bak sebuah truk, yang melintas disana. Kalimat keluhan lengkap dengan lukisan pinggir jalan yang menghiasinya. “Derita tiada akhir – Bahagia tak mau mampir”.
Sosok laki-laki paruh baya melatar belakanginya, memaksa yang melihat tersenyum sendu. Badannya kekar, tangannya gempal, wajahnya sangar. Sekeranjang beban menindih punggungnya. Di ujung papan, gambar perempuan galak dengan wajah marah-marah. Sang pria mengeluh, masalah selalu menghadang, persoalan sedang di depan, himpitan terus meradang, demikian pesan yang dikirim melalui lukisan yang terlihat kusam. Itulah hidup di dunia, tak pernah lepas dari masalah.
Pengarang buku “Think and Grow Rich”, Greg S. Reid, menasehatkan agar jangan alergi dengan masalah. Jangan phobia dengan problem. Jangan menghindar dari persoalan. Akrabi dan siasati agar kita tidak dikuasai masalah. “Problem makes life interesting and unique”. Masalah justru membuat hidup ini berbeda, lebih hidup, lebih menyala. ‘Urip luwih urup’.
Gus Dur adalah contoh soal bagaimana orang bijak menghadapi masalah. Cara merespon menjadi kata kunci agar hidup lebih menarik, seperti nasehat Greg Reid. Tidak terlalu serius, tapi terpecahkan. Tidak ngoyo, tapi sembodo. Tidak menguras tenaga, tapi ada jawabnya. Dengan sudut pandang berbeda, bahkan sering nyleneh, Gus Dur melihat masalah dengan kacamata masa depan. Bahkan saat berada di ujung tanduk sebagai Presiden, Gus Dur masih guyon dengan hanya memakai celana pendek keluar istana, menemui pendukung-pendukungnya.
Gus Dur tak bisa dilepas dari ucapannya yang khas dan menggelitik, “Gitu aja kok repot”. Ungkapan sederhana, meski terkesan menyepelekan, tapi tetap menyelesaikan. Terlihat meremehkan, tapi mengurai masalah. Masalah tidak diingkari, tidak dihindari, tidak dijauhi, tidak dikeluhkan, tapi dihadapi dan diselesaikan. Tidak hanya itu, “Gitu aja kok repot” sekaligus memberi ketenangan, menambah ke-PD-an, dan menebalkan keyakinan mereka yang melihatnya.
Masalah timbul karena kenyataan berbeda dengan harapan. Fakta tidak klop dengan ekspektasi. Terjadi gap yang “mengganggu” kenyamanan hidup. Comfort zone terusik, karena harapan yang biasanya indah, baik-baik dan menyenangkan berbeda dengan apa yang dialami dalam hidup sesungguhnya. Gap bisa besar dan dalam, tapi tak jarang hanya kecil dan dangkal. Semakin besar dan dalam gap itu, semakin besar pula dalam persepsi seseorang.
Menyelesaikan masalah berarti menghilangkan gap. Atau paling tidak memperkecil dan mendangkalkannya. Pertama, tentunya mengusahakan agar kenyataan dan fakta bisa didekatkan semaksimal mungkin dengan harapan. Bila bisa, gap harus sama dengan nol, artinya kenyataan sama dengan harapan. Disitu muncul usaha untuk menghilangkan gap. Itu yang disebut menyelesaikan masalah.
Jangan lupa, “Jer basuki mawa bea”. Butuh usaha untuk menggapai kemuliaan. Kebahagiaan memerlukan biaya. Comfort zone diraih dengan pengorbanan. Dalam kategori ini, menyelesaikan masalah didominasi dengan usaha ekstrinsik. Berpikir, mengatur strategi, membuat rencana, bekerja atau mengeluarkan biaya. Tak ada makan siang gratis. “No free lunch”. Perlu semangat atau passion untuk menghancurkan gap, agar masalah hilang.
Yang kedua adalah dengan cara mengubah harapan. Ekspektasi disesuaikan dengan kenyataan yang ada. Maka gap akan nihil. Merekayasa harapan memerlukan usaha yang tak kalah ringan, karena terjadi pertarungan di dalam sana, sifatnya intrinsik, insight dan menata hati. Kalau mengangankan tim nasional sepakbola Indonesia menjadi juara di kawasan Asia Tenggara, ternyata meleset terus, mending ubah angan-angan menjadi lebih realistis. Bayangkan timnas Indonesia bisa mengalahkan timnas Timor Leste saja. Gap mengecil atau hilang sama sekali. Masalah langsung sirna. Insya Allah berhasil.
Mengusahakan agar kenyataan berhimpit dengan harapan, atau mengubah harapan menjadi sesuai kenyataan sama-sama menghilangkan gap, memusnakan masalah. Harus pandai memilih kapan menggunakan cara pertama, kapan kedua. Bila harapan dinilai terlalu muluk, tidak realistis dan tak pernah mewujud, silakan ubah harapan menjadi lebih membumi. Jika semangat masih tinggi dan tantangan hidup menjadi obsesi, mengubah fakta mendekati harapan menjadi pilihan yang tepat. Keduanya butuh usaha yang tak ringan dalam suasana dan persyaratan yang berbeda konteks.
Saat merenung soal masalah, teringat kiriman artikel pendek dari seorang teman melalui socmed tentang Norwegia. Berpenduduk hampir 6 juta orang, Norwegia dikenal sebagai negara dengan cuaca paling ekstrem di dunia. Orang yang hidup di kawasan Finmark, Troms, Trondelag atau Eastern Norway bisa merasakan suhu sampai minus 40 derajat Celsius. Matahari hanya muncul 2-3 jam saja. Selebihnya gelap dengan pagi dan sore yang hampir berimpit.
Norwegia dikenal sebagai bangsa maju, dengan basis industri yang kuat. GDP per kapita termasuk tertinggi di dunia, lebih dari USD 100 ribu, hanya kalah tipis dengan Luksemburg. Bagaimana mungkin, alam yang sangat ganas mampu melahirkan bangsa hebat dan tangguh seperti Norwegia? Jawabnya ada dalam pola pikir mereka dalam mengatasi masalah dan menjawab tantangan.
“There is no such thing as bad weather, just bad clothing”. Suhu dingin, angin menggigit dan cuaca tak bersahabat bukan masalah serius, pakaian yang tepat dapat menangkalnya. Masalah yang mengancam tidak ada bila direspon dengan benar. Cuaca buruk tidak dapat dihindari, karena sudah ada di sana, entah sejak kapan. Cuaca buruk dapat dijinakkan dengan berpakaian yang tepat dan benar. Masalah tidak membuat sengsara, yang ada reaksi yang tidak pas.
Norwegia adalah sebuah kemashuran yang lahir karena banyak masalah. Norwegia penuh dengan tantangan, dan dijawab dengan tepat. Negara yang alamnya tak bersahabat melahirkan bangsa yang tangguh. Karena disitulah tantangan harus dijawab. “More challenges – more response – more achievement”. Teringat kata-kata Duke Elington (Edward Kennedy Elington – pemain jazz handal dari Amerika, 1899-1974), “A problem is a chance to do your best”.
Ais said:
DINAMISME
DINAMIS ISME
Arete
Terate
Khas Djawi Wetan
Terate
Tanaman yg flexibel berdaptasi dgn fluida toya
Sagih berdaptasi dengan kahanannya hidup
Simbolik way of life yang dinamis , buta tetap tegak diakarnya.
Pesan tegas
Adaptif dinamis tegak di fluida kehidupan
Tegak mengakar di bumi berpijak
Indonesia bangsa
Tegaklah berdiri pada jati diri bumimu sendiri
Jatidiri
Kediri
Indonesia sendiri.
PM. Susbandono said:
SUPIR TAXI – SUPIR BIS
Namanya Husien, lebih suka dipanggil Bill. Sopir taxi “Yellow Cab”, Di Melbourne, Australia. Handsome dan rapi, untuk usianya yang sudah menginjak setengah baya. Keturunan Turki, berwarga-negara Australia, berimigrasi sejak 15 tahun lalu. Bill termasuk fast driver, mengemudi dengan kecepatan tinggi, meski tetap safe. Dia ramah, correct dan talkative.
Keramah-tamahannya menjadi-jadi saat tahu, kami bertiga dari Indonesia. Entah mengapa, Bill suka dengan kami, suka Indonesia. Dia langsung memakai julukan sister dan brother. Kepada Wulan, Bill memanggil my daughter. Sepanjang jalan dia terus cerita tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang Melbourne, tentang Australia dan tentang Turki. “Saya tak suka pemerintah Turki sekarang, yang puritan dan ekstrem. I love Mustafa Kemal Atatürk. He is a great leader, like Sukarno”. Diam-diam saya bangga mendengarnya. Kami sedang naik taxinya, menuju Werribee Zoo, kebun-binatang terbuka, kira-kira 40 km dari pusat kota Melbourne.
Tiba di lokasi, Bill menawarkan diri menunggu di sana sampai kami selesai wisata. “Kalian sulit mendapatkan angkutan umum ke kota. Saya akan menunggu sampai selesai”. Saya baru ngeh kalau kami berada di pinggir kota yang sepi. Usulan simpatik Bill langsung diterima.
Saya tak ingin menceritakan apa dan bagaimana Werribee Zoo. Kebun binatang yang biasa-biasa saja, jauh lebih sederhana dari Taman Safari, Puncak. Kebaikan hati dan keramahan Bill lebih menyita perhatian kami, ketimbang koleksi binatang dan pemandangan Werribee.
Singkat kata, kami kembali ke Melbourne setelah 2 jam sight seeing di sana. Bill tertidur di kursi kemudi, ketika kami bangunkan. Dengan sigap memacu taxinya kembali menuju Melbourne.
Sesaat sebelum masuk kota, Bill mematikan argometernya. Layar menunjukkan angka 52.60. Sampai di titik itu, kami harus membayar AUD 52.60. Masih sekitar AUD 25 lagi untuk sampai ke tengah kota. Namun kalimatnya menyentak kami. “Oke, cukup bayar sejumlah itu. Terlalu banyak kalau kalian harus bayar sampai di tengah kota”.
Beberapa kali kami menanyakan maksud kalimat tadi. Tapi, Bill tak mengubah maksudnya. Kami mendapat discount membayar ongkos taxi. Saya tak tahu alasannya mengapa dia sebaik itu. Belum pernah saya mendengar seorang sopir taxi mematikan argometernya di tengah jalan. Semata ingin memberikan potongan-harga kepada penumpangnya. Kami seperti mimpi, ketika mengalaminya. Bukan soal jumlah dolarnya, tetapi kelangkaan sikapnya yang mengagetkan kami. Kemudian kita berpisah. Dia sempat meninggalkan nomer telepon untuk sewaktu-waktu bisa menghubunginya, bila kami membutuhkan.
Tokoh kedua masih seputar pengemudi angkutan umum di kota Melbourne. Saya tak sempat mencatat namanya. Dia sopir bis wisata, berwarna merah tua, “Melbourne Visitor Shuttle Bus”.
Sore itu, kami bermaksud naik bis di depan kompleks Royal Botanic Gardens. Ada mesin vending di pinggir halte. Melihat kami mau memasukkan kartu pra bayar, sang sopir bergegas turun.
“Sebaiknya kalian menunggu 30 menit setelah bis ini berangkat. Bis ini bayar, tapi setelah ini, kalian akan mendapatkan bis yang gratis”.
Setelah membaca keterangan yang tertulis di vending machine, kami mahfum akan aturan main yang ada. Harga tiket sebesar AUD 10, berlaku 2 hari. Dengan catatan, 3 bis terakhir di sore hari, for free. Kalau kami naik bis tadi, hitung-hitungannya kami rugi, karena hari pertama sudah akan berakhir, sementara sebentar lagi bis gratis segera beroperasi. Mendengar kata gratis, layaknya orang Indonesia, kami gembira bukan alang kepalang. Sore itu kami kembali tertegun. Bertemu lagi dengan “orang baik” di tengah kota metropolitan yang hingar-bingar.
Bukan soal untung-rugi yang ingin saya catat. Sikap si bung sopir bis merah, tanpa nama tadi, membuat kami speechless. Dia mau repot-repot turun dari kursinya untuk memberi tahu 3 turis norak, dari Indonesia, yang akan dirugikan – atau lebih tepatnya – tidak diuntungkan, bila tak mau menunggu 30 menit. Apa salahnya kalau dia mendiamkan kami membeli tiket dan naik bisnya? Apa urusannya? Apa ruginya? Apa untungnya? Rasanya tidak ada.
Bill Husein, sopir taxi, dan si bung, sopir bis wisata tanpa nama, yang baik hati adalah cetusan kepedulian dari pelayan publik di sebuah masyarakat madani. Di sana tercampur profesionalisme yang tinggi dan sikap melayani yang tulus. Mereka merasa itulah kewajibannya.
Dua manusia dari banyak manusia yang kami jumpai di Melbourne, memberi impresi yang mendalam. Dua minggu lalu, Melbourne bukan tempat yang nyaman untuk berwisata. Di sana sedang musim dingin. Orang mengatakan tahun ini adalah bad winter. Tapi, “kekejaman” temperatur dan alam Melbourne berubah menjadi bersahabat, saat bertemu orang-orang seperti Bill dan si bung sopir bis merah. Kebekuan alamnya dihangatkan oleh sapaan dan kasih mereka. Pesan yang kami tangkap, jangan pernah patah arang, masih banyak “orang baik” di dunia ini.
Kisah ini kurang lengkap kalau tidak bercerita tentang sholat Ied di Konsulat Jenderal RI, di Melbourne. Lebaran hari pertama, keluar dari hotel pukul 07.00. Tentunya dilengkapi “pakaian tempur” berlapis-lapis yang memberatkan tubuh, menyulitkan bergerak, apalagi berjalan. Tapi suhu udara sedang tidak main-main. Tiga derajat Celsius plus hujan gerimis dan angin membuat tulang manusia tropis, terasa ngilu.
Payung yang sebentar-bentar tertiup angin, menambah kesulitan mengejar dan naik TRAM, yang di beberapa spot tak harus bayar. Tapi suasana sholat Ied dan halal bi halal, seolah menghilangkan kebekuan tubuh yang menggigil diterpa angin musim dingin dan gerimis menusuk kulit.
Lontong opor, snack, minuman panas dan keramahan Konjen, ibu Dewi Savitri Wahab, menghangatkan halal bi halal yang disiapkan oleh staf KJRI dengan predikat nyaris sempurna. Ini benar-benar mengakrabkan pagi hari yang tak bersahabat itu. Singkat kisah, meski Lebaran di dunia yang jauh dan berbeda, nuansa Indonesia tetap bermukim di sana. Ia menghapus kebekuan udara yang mengigit kami di pagi yang tak bersahabat. Ia diganti dengan nuansa Indonesia yang guyub, tak berbatas dan penuh canda.
Tak lengkap kalau saya tak menulis tentang misa minggu di Melbourne, 2 hari setelah Idulfitri. Diawali dengan “tersesat” masuk Gereja Katedral St Pauls, yang ternyata denominasi Gereja Katolik Anglikan. Meski ritual misa nyaris sama, sorenya kami mengikuti misa di Gereja Katolik (Roma) di Gereja St. Francis.
Sore itu ada misa dengan Bahasa Indonesia yang dipimpin oleh Romo Michael. Pastur Indonesia keturunan Flores yang sedang bertugas di sana. Dua ratus limapuluh orang Indonesia mengikuti misa, bak sedang berada di Gereja Mateus Bintaro saja. Kembali nuansa Indonesia hadir dan menghangatkan kota Melbourne yang dingin. Bagi saya, Indonesia selalu ngangeni. (selalu membuat kangen), bagaimana indahnya dan megahnya sebuah kota seperti Melbourne. Mungkin itulah tipikal manusia pesisir Jawa, seperti saya.
Masih banyak pengalaman yang menakjubkan di kota jelita seperti Melbourne. Sebut saja “keajaiban” melihat Little Penguin berparade setiap waktu magrib di pantai Phillip Island. Pesta kembang api yang konon disumet setiap Jumat malam di Pantai Docklands. Opera The Lion King yang manggung setiap malam dan selalu sold out di Regent Theatre. Belum lagi sistem transportasi kota yang cangkih dan integratif, membuat iri penduduk Jakarta yang lalu-lintasnya umeg dan semrawut, seperti keroyokan semut di atas serpihan gula-gula yang terjatuh di bawah meja makan.
Tapi, tidak semua Melbourne menyenangkan. Suhu dingin di kala winter adalah yang pertama. Berjajarnya pengemis dan gelandangan di pinggir jalan pusat kota, adalah yang kedua. Mahalnya harga makanan dan minuman di antara kota-kota besar dunia, menjadi item ketiga.
Semula saya menduga itulah sebabnya mengapa Melbourne didominasi baju warna hitam. Entah mengapa, hitam meraja-lela dipakai manusia yang lalu-lalang di trotoar tepi jalan-jalan utama. Dipakai laki-laki atau perempuan, tua atau muda, orang asli Australia atau pendatang. Saya tak tahu persis apa jawabnya. Sampai kini, saya tak tahu jawabnya. Mengapa lambang duka menjadi kegemaran di sana. Tak juga Jessica Hart bisa menjawabnya.
“Melbourne is very sophisticated and edgy – we wear a lot of black. Things are lightening up a little bit, but truly, everything looks good in black”.
(Jessica Hart – Penulis terkenal, asal Inggris)