Śūrabhaya, begitu nama kota ini sesungguhnya menurut ejaaan Jawa Kuno atau Kawi yang benar. Śūra berarti Berani, dan Bhaya berarti Bahaya. Śūrabhaya : berani menghadapi segala marabahaya yang datang. Untuk ejaan yang disesuaikan dalam bahasa Indonesia menjadi : Surabaya. Semula, kota ini dikenal dengan nama ‘Ujung Galuh’ Pelabuhan Agung Majapahit. Pelabuhan utama, gerbang utama untuk memasuki ibukota Majapahit dari lautan.
Nama Śūrabhaya sendiri dikukuhkan sebagai nama resmi pada abad 14 oleh penguasa Ujung Galuh, Arya Lêmbu Sora. Nama tersebut sangat tepat untuk disematkan kepada kota luar biasa ini. Di kota ini, pada abad 13 (1293 Masehi), pasukan Majapahit dibawah pimpinan Raden Wijaya, yang terdiri dari pasukan gabungan Jawa dan Madura, berhasil memukul mundur pasukan Tiongkok dinasti Yuan yang hendak menggagahi bhumi Jawa dan Nusantara. Perang besar berdarah-darah dengan kekuatan yang tidak seimbang, bisa disiasati dengan taktik penghancuran para pimpinan pasukan Yuan terlebih dahulu. Sesudah itu, seberapapun besarnya kekuatan musuh, hanya akan seperti anak-anak kucing tanpa induk, mudah dihancurkan. Bagi pasukan Yuan, Śūrabhaya adalah mimpi buruk. Disini, mereka menyaksikan sendiri kehebatan dan keberanian orang-orang Majapahit. Tiga ribu pasukan terbunuh, sisanya melarikan diri kembali ke Tiongkok.
Tujuh abad kemudian, giliran pasukan Inggris dan Belanda yang merasakan mimpi buruk di Śūrabhaya. Kedatangan pasukan Inggris (AFNEI) dan Belanda (NICA) ke Śūrabhaya adalah kedatangan sebagai pasukan pemenang Perang Dunia II. Selain bertujuan melucuti tentara Jepang, senyatanya juga hendak mengembalikan kekuasaan Belanda. Pada pertempuran pertama 27-29 Oktober 1945, pasukan Inggris dan Belanda sudah terdesak hebat dan tinggal satu langkah untuk dihancurkan. Pertempuran berakhir dengan terjepitnya posisi Tentara Inggris hingga tanpa malu-malu mereka mengibarkan bendera putih dan minta berunding. Ikhwal ”kekalahan memalukan” itu diakui oleh Kapten R.C.Smith, salah seorang veteran Tentara Inggris yang terlibat dalam pertempuran itu. Pada 1975, dalam suratnya kepada penulis J.G.A Parrot, Smith menyebut Brigjen Aubertin Mallaby sangat khawatir jika pertempuran tak berhenti, anak buahnya akan disapu bersih (wiped out). Suatu kekhawatiran yang sama dirasakan pula oleh Kolonel A.J.F Doulton:
”Perlawanan heroik dari Tentara Inggris hanya akan berakhir dengan hancur leburnya Brigade 49, kecuali ada seseorang yang bisa mengendalikan kemarahan orang-orang itu (maksudnya para pejuang Indonesia di Surabaya),” tulis Doulton dalam The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division,1942-1947. Di kemudian hari Inggris menemukan ”sang pengendali” itu tak lain adalah Presiden Soekarno.
Maka pada 30 Oktober 1945, atas permohonan Inggris, dari Jakarta Presiden Soekarno terbang ke Surabaya. Di sana ia terlibat perundingan dengan Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, Komandan Divisi India 23, yang tak lain merupakan atasan Brigjen Aubertin Mallaby. Dari perundingan itu tercetus kesepakatan yang diantaranya adalah pengakuan pihak Inggris terhadap eksistensi Republik Indonesia sebagai salah satu syarat dihentikannya pengepungan terhadap Tentara Inggris di Surabaya.
Perundingan usai jam 13.00. Presiden Soekarno yang masih gamang dan ragu dengan kekuatan lasykar-lasykar Indonesia yang baru saja merdeka, terbujuk untuk mengadakan gencatan senjata.
Genjatan senjata ini senyatanya hanya sekedar untuk memperkuat kedudukan pasukan Inggris dan Belanda. Gencatan senjata ini koyak karena aksi konyol arek-arek Surabaya yang kecewa dan berhasil membunuh Brigjen Aubertin Mallaby. Pasukan Inggris meradang dan mengeluarkan ultimatum agar selambat-lambatnya pada 10 November 1945 seluruh lasykar-lasykar di Surabaya menyerahkan senjata mereka tepat pada jam 06.00 pagi. Ultimatum pasukan Inggris sebagai bagian dari pasukan yang memenangkan Perang Dunia II tidak digubris oleh arek-arek Surabaya. Dengan keberanian luar biasa, arek-arek Surabaya nekat maju menghadapi gempuran Inggris.
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya… Perlawanan orang-orang Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati (maksudnya : keris) dan dinamit di badan menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”tulis David Wehl dalam Birth of Indonesia.
Sejarah mencatat, Tentara Inggris sempat lintang pukang menghadapi perlawanan ini. Di hari kedua saja, sudah 3 Mosquito tertembak jatuh. Termasuk yang membawa Brigjen. Robert Guy Loder Symonds, kena sikat PSU Bofors 40 (sejenis senjata penangkis serangan udara milik KNIL) yang dikendalikan oleh sekelompok veteran PETA yang berpengalaman menghadapi pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat di palagan Halmahera dan Morotai.
Inggris menyebut Perang Surabaya sebagai perang yang terberat pasca Perang Dunia II. Surat kabar New York Times (edisi 15 November 1945) bahkan mengutip kata-kata para serdadu Inggris yang menyebut “The Battle of Surabaya” sebagai “inferno” atau neraka di timur Jawa.
Śūrabhaya, nama yang kamu sandang bukan hanya sekedar omong kosong belaka 🙂 …
Jaya jaya dwipantara, têtêp jaya ngadhêpi bêbaya!
Selamat Hari Pahlawan 10 Nopember 2013
***
ibu Siu Kim ... said:
Wowwww dahsyat memang arek suroboyo .. boleh bangga lho kita jadi arek suroboyo ..ingat lagu .*.Jembatan merah sungguh indah ,, berpagar gedung indah sepanjang hari yg melintasi .. silih berganti *.. disinilah konon jendral tentara sekutu .. yg bernama Malabby tewas ditangan arek2 suroboyo …. hanya sayang .. bonek bikin ga bagus ttg cerita kota tercinta kita
….
Makasih Dewi yg manis ……
sabdadewi said:
@ Bu Kim,
Maturnuwun Bu, Surabaya memang kota yang penuh kenangan dari masa ke masa, suatu kebanggaan bisa mempostingkan artikel tentang kota tercinta ini, karena dari kota yang penuh sejarah dan perjuangan ini, di mulailah jalan menuju kepada kemerdekaan… cheeeeerrss :)…
Salam manis juga,
Dewi
JDD said:
Bu Kim, dulu waktu saya kecil kalau di sekolah selalu di ajarin bahwa nama kota Surabaya itu berasal dari ikan Sura dan Buaya yang berkelahi di Jembatan merah. Makanya lambang kota Surabaya adalah ikan sura dan buaya …
Sekarang baru tahu bahwa Surabaya jaman dulu itu tempatnya pelabuhan Ujung Galuh, dan nama Sura itu berarti berani dan Bhaya itu bahaya 🙂 …
Gigi said:
Pagi, Mbak Dewi…
Tulisan macem gini, mbak dapet referensi darimana toh? Kayaknya ga ada di toko2 buku. Btw, arek sby apa, mbak? 🙂
Salam gulo jowo
sabdadewi said:
@ Gigi,
Hai dear, the answer is ‘Yes’ 😉 …
Terima kasih, memang kalau di bangku sekolah dulu ya hanya di ajarkan tentang perkelahian sura dan baya yang melegenda itu, namun seiring dengan berjalannya waktu, saya banyak mendapatkan referensinya dari buka-buka perpustakaan maya, dan kebetulan di novel sejarah karangan mas Damar Shashangka yang berjudul Geger Majapahit atau Pudarnya Surya Majapahit juga banyak di singgung tentang wilayah pelabuhan Ujung Galuh yang sekarang bernama Surabaya 🙂 …
Salam ujung galuh,
Dewi
Gigi said:
Sama, mbak. Saya taunya ya cerita suro & buoyo itu. Saya belum pernah baca novel sejarah. Kalo baca novel ya novel, sejarah ya sejarah. Rasanya aneh aja tokoh2 yg saya kenal diposisikan sebagai tokoh suatu novel. Mau beli takut ga suka. Jaman kuliah dulu jd anggota taman bacaan jd bisa ‘ngetes’ dulu mana buku yg menurut kita bagus/ga 🙂
Btw, ikut gawe di blog tetangga ga, mbak (SO)? Sapa tau foto mbak nampang disitu 🙂
Salam gulo jowo
sabdadewi said:
@ Gigi,
Maturnuwun, nggak semua novel itu fiksi kok mbak, ada juga novel berkualitas dengan background alur cerita sejarah, apalagi kalau sang penulis merujuk pada pupuh atau lontar kuno yang banyak menyimpan nilai-nilai Nusantara yang sejatinya 🙂 …
Iya saya selalu mengikuti cerita dan perkembangan SO dengan berkunjung ke blog sebelah untuk membaca journal-journalnya, sayang sekali saya belum bisa ikutan, semata karena terkendala waktu dan tempat saja, mudah-mudahan di lain waktu saya bisa berkumpul dan berjumpa dengan teman-teman blog 🙂 …
Salam manis,
Dewi
Lesungpipi3t said:
Salam mbak dewi..
Merinding saya mbak bacanya.. Semangat surabaya memang dahsyat..
sabdadewi said:
@ Lesungpipi3t,
Hmmm, Arek Surabaya ya? 🙂 …
lesungpipi3t said:
mungkin mbak 😀
Fitri Nur said:
KINI http://WWW.BENUAPOKER.COM TELAH HADIR DENGAN MEGA JACKPOT BARU DAN MENANGKAN PULUHAN JUTA DENGAN MUDAH,….
eko said:
Meski saya sudah tidak tinggal disurabaya lagi beberapa tahun ini karena pekerjaan tapi dimanapun saya berada saya tetap bangga menjadi “arek suroboyo” karena saya lahir,besar dan tumbuh dewasa disurabaya dan juga saya mengerti sejarah surabaya setelah saya kuliah di jurusan sejarah dan itu menambah kebanggaan saya terhadap surabaya
#Love_Surabaya#
sabdadewi said:
Wilujeng siang @ mas Eko,
Iya benar itu, suatu kebanggaan untuk arek-arek Suroboyo, dan Surabaya akan tetap ada di hati kita 🙂 …